BISNIS.COM, JAKARTA--Setelah sukses bersaing di industri pakan ternak dan ayam pedaging, PT Malindo Feedmill Tbk (MAIN) memulai peruntungannya di bisnis makanan olahan lewat investasi dari hulu hingga hilirnya.
Keluarga Lau bisa jadi paling sumringah kala memastikan perusahaan yang dibesarkannya mencatatkan saham perdana di Bursa Efek Indonesia pada 10 Februari 2006. Dirintis sejak 1998, Malindo go public dalam usia 8 tahun.
Saat itu, rasanya tak banyak yang mengenal Keluarga Lau, apalagi Malindo yang sohor terbatas di kelompok industri ternak. Sebelum menginvasi Indonesia, Lau bersaudara telah merajai pasar peternakan di Malaysia lewat bendera bisnis Leong Hup Holdings Berhad.
Sejak IPO, saham Malindo pun tergolong aktif di bursa. Ditawarkan perdana Rp880, harganya terus bergerak naik lebih dari 3 kali lipat hingga menyentuh Rp3.075. Kini, sekitar 35,87% saham perseroan dikuasai publik.
Tak hanya itu, pendapatan perusahaan dari 5 divisi bisnis tumbuh rata-rata 21% sejak mencatatkan saham perdana. Pangsa pasar pakan ternak mulai terbuka dengan penguasaan 7%. Per kuartal I/2013, divisi pakan ternak menyumbang pendapatan Rp665 miliar, meningkat 37,1% dari periode yang sama 2012 senilai Rp485 miliar.
Tak puas, Malindo menyiapkan proyek pembangunan pabrik pakan ternak di Semarang dan Makasar dengan nilai investasi Rp120 miliar. Pabrik baru di Semarang akan memiliki kapasitas produksi 300.000 metrik ton, dan diperkirakan mulai beroperasi awal kuartal IV/2013.
Peningkatan produksi pakan ternak juga bakal diperoleh dari sokongan pabrik baru di Makassar yang diproyeksi berkapasitas 225.000 metrik ton. Investasi yang dibutuhkan sekitar Rp80 miliar, dan diharapkan rampung awal tahun depan.
Dengan begitu, kapasitas pabrik pakan ternak Malindo akan meningkat 1,4 juta metrik ton mulai 2014, mewakili 58% pertumbuhan dibandingkan dengan realisasi saat ini 900.000 metrik ton.
Peningkatan produksi segmen usaha lainnya yakni anakan ayam usia sehari (day old chick/DOC) juga dikebut. Perseroan menargetkan kapasitas breeding farm DOC mencapai 191 juta ekor tahun ini. Untuk mencakup area yang lebih luas, Malindo juga memperluas peternakannya ke Makassar.
Di samping memperkuat bisnis di sektor hulu, Malindo mulai merambah rantai nilai tambah untuk produk makanan olahan. Bahan baku diperoleh dari divisi ayam pedaging sehingga menciptakan integrasi bisnis terpadu.
Kabarnya, perseroan segera memperkenalkan produk olahan ayam bermerek Sunny Gold. Produksi segera dimulai setelah perseroan merampungkan pembangunan pabrik makanan olahan di Cikarang dengan kapasitas produksi 9.000 metrik ton per tahun.
Kapasitas produksi juga berpotensi meningkat menyusul kepastian sewa lahan seluas 25.933 meter persegi di kawasan industri Deltamas. Keberadaan tambahan pabrik nantinya mendongkrak produksi 420.000 metrik ton.
Presiden Direktur Malindo Lau Cia Nguang mengungkapkan perjanjian sewa lahan itu terikat hingga 10 tahun ke depan dengan nilai transaksi Rp725 juta per tahun dan meningkat 10% setiap 2 tahun. Ekspansi pabrik itu diharapkan mendukung peningkatan kontribusi dari segmen usaha pengolahan makanan.
Untuk mendanai rangkaian ekspansi itu, Malindo berencana menerbitkan 169,5 juta saham baru tanpa hak memesan efek terlebih dahulu (non pre-emptive rights issue). Selain meningkatkan anggaran pengembangan usaha, aksi korporasi itu diharapkan memperbaiki struktur permodalan.
Herman Koeswanto, analis Mandiri Sekuritas mengungkapkan penambahan modal itu akan menjadi bekal pengembangan usaha produk ayam pedaging. Apalagi, Malindo rencananya segera memperkenalkan produk olahan ayam.
Menurut Herman, produk itu akan menjaring banyak konsumen di pasar tradisional. Perseroan juga akan banyak terbantu oleh tren kenaikan konsumsi saat mendekati bulan puasa dan Lebaran pada semester II/2013.
Dia memprediksi margin laba usaha Malindo akan meningkat 30% didorong kenaikan harga 10%—15% pada periode itu. Adapun, total pendapatan dan laba bersih diproyeksi tumbuh 15%—20%.
Malindo, kata Herman, berpeluang menyentuh resisten atau batas atas valuasi saham Rp4.000, dengan level support Rp2.725.
Sementara itu, riset Pefindo memperkirakan bisnis makanan olahan akan berkontribusi meningkatkan 2% pendapatan perseroan, dan naik 5% hingga 2017. Bisnis hilir itu berpeluang menyumbang margin laba kotor yang lebih tinggi sekitar 25%.
Namun, Pefindo mencatat Malindo perlu memperkuat kapasitas produksi ayam pedaging setidaknya 30% dari kapasitas saat ini, guna mendukung kelancaran pasokan bahan baku dan tingginya permintaan pasar.
Secara fundamental, Malindo dinilai punya keuntungan dalam mengontrol kenaikan harga kepada pelanggan ketika harga bahan baku naik. Namun, harga cenderung tidak elastis ketika ongkos pemenuhan bahan baku turun. (ra)