Bisnis.com, JAKARTA — Otoritas fiskal tidak akan menaikkan tarif ataupun menerapkan kebijakan baru pada 2026, meski target penerimaan pajak ambisius capai Rp2.357,7 triliun. Pemerintah akan lebih banyak melakukan insentifikasi kepatuhan wajib pajak yang sudah terdaftar alias 'berburu di kebun binatang'.
Target penerimaan pajak Rp2.357,7 triliun itu sendiri tercantum dalam Rancangan Anggaran dan Pendapat Negara (RAPBN) 2026 yang sudah diserahkan Presiden Prabowo Subianto ke parlemen pada akhir pekan lalu. Angka itu naik 13,5% dari outlook penerimaan pajak 2025 sebesar Rp2.076,9 triliun.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati memastikan pemerintah tidak akan memberlakukan pajak baru maupun menaikkan tarif pajak pada 2026, meski target penerimaan negara naik cukup tinggi.
Sri Mulyani menjelaskan kebijakan perpajakan tahun depan akan tetap mengacu pada ketentuan dalam Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) dan regulasi lainnya yang sudah ada.
"Tadi kan pertanyaan menjurus ke, 'Apakah ada pajak baru, tarif baru?' Kita tidak, tapi lebih kepada reform di internal,” ujar Sri Mulyani dalam konferensi pers Nota Keuangan dan RAPBN 2026, Jumat (15/8/2025).
Bendahara negara itu menjelaskan, reformasi internal akan diarahkan pada penguatan administrasi dan penegakan hukum. Caranya, sambung Sri Mulyani, Kementerian Keuangan akan terus memperbaiki sistem inti administrasi perpajakan alias Coretax.
Baca Juga
Selain itu, intensifikasi pertukaran data akan ditingkatkan melalui perluasan kolaborasi, tidak hanya di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak dan Direktorat Bea Cukai, tetapi juga dengan kementerian/lembaga lain seperti Kementerian ESDM.
Menurutnya, akurasi dan ketepatan waktu data menjadi kunci untuk meningkatkan kepatuhan, menutup celah penghindaran pajak, dan menekan praktik ekonomi bayangan (shadow economy) maupun aktivitas ilegal.
“Dengan data yang akurat dan timing yang tepat, peluang untuk enforcement yang lebih baik akan terbuka,” tegasnya.
Beban Wajib Pajak?
Peneliti Senior Departemen Ekonomi Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Deni Friawan mengingatkan bahwa pertumbuhan rata-rata penerimaan pajak dalam beberapa tahun terakhir hanya 5—6%. Oleh sebab itu, menurutnya, target kenaikan penerimaan pajak hingga 13,5% terasa terlalu tinggi.
Masalahnya, Deni meyakini bahwa pemerintah tidak bisa memaksakan peningkatan penerimaan pajak terutama dalam waktu singkat akibat struktur perekonomian yang belum memadai. Menurutnya, ada lima permasalahan yang menghambat peningkatan penerimaan pajak secara masif dalam waktu singkat.
"Pertama, ada masalah ekonomi informal atau underground economy yang sebesar. Sebesar 59% tenaga kerja itu ada di sektor informal [sehingga tidak tercatat secara administratif dalam sistem perpajakan]," jelas Deni dalam media briefing CSIS, Senin (18/8/2025).
Kedua, basis pajak yang sangat kecil. Dari 145 juta angkatan kerja, yang tercatat sebagai wajib lapor pajak atau surat pemberitahuan tahunan (SPT) hanya 17 juta. Ketiga, Deni meyakini kepatuhan formal UMKM ataupun perusahaan-perusahaan besar juga masih lemah.
Keempat, struktur penerimaan dari sumber daya alam (SDA) masih sangat bergantung royalti sehingga rentan terhadap praktek transfer pricing dari perusahaan-perusahaan. Kelima, administrasi pajak yang masih jauh dari efisien.
"Harapannya lewat Coretax, dia bisa mengintensifkan penerimaan pajak.
Itu kayak mengejar, berburu di kebun binatang. Jadi, orang yang selama ini bayar pajak, ya itu yang akan dikejar terus," ujar Deni.
Senada, Peneliti Departemen Ekonomi CSIS Riandy Laksono menyatakan target penerimaan pajak yang naik 13,5% terkesan terlalu optimis. Secara historis, sambungnya, kenaikan penerimaan pajak hingga 13,5% hanya terjadi ketika terjadi commodity boom sekitar 2003—2012 yang ditopang peningkatan besar-besaran dari industri China.
Masalahnya, commodity boom sudah berakhir. Malahan, harga komoditas unggulan Indonesia seperti CPO, batu bara, nikel, dan gas alam beberapa tahun belakangan menurun.
Semua itu tak lepas dari perekonomian China yang tumbuh melandai beberapa waktu belakangan, ditambah perang tarif antara Negeri Panda dengan Paman Sam.
"Intinya adalah commodity boom enggak akan lagi balik waktu Cina booming waktu itu.
Nah, sehingga basis penerimaan akan susah," kata Riandy pada kesempatan yang sama.
Mau tak mau, sambungnya, pemerintah harus jalan panjang. Dia mendorong pemerintah memperbaiki struktur ketenagakerjaan di Indonesia karena masih banyak pekerja informal yang tidak tercatat dalam administrasi perpajakan.
Caranya, kembali fokus melakukan industrialisasi. Sayangnya, dia melihat arah investasi semakin menjauh dari industri pengolahan dan manufaktur yang selama ini menjadi penciptaan lapangan kerja berkualitas utama di Indonesia.
Riandy mencontohkan, dari total investasi langsung yang mengarah ke sektor padat modal hanya berkisar 30—40% dalam sepuluh tahun terakhir. Padahal pada 2002—2010, persentasenya mencapai 50—80%.
Menurutnya investasi yang fokus ke sektor padat modal memperlemah penciptaan lapangan kerja berkualitas.
"Jadi strategi industrialisasinya harus dibenerin, begitu, karena penyedia pekerja formal dan pembayar pajak paling besar itu dari industri pengolahan," ungkapnya.
Kepala Riset Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Fajry Akbar tidak heran apabila pemerintah tak mau menaikkan tarif maupun menetapkan pajak baru pada tahun depan, terutama resistensi masyarakat yang masih besar.
"Opsi kebijakan pajak punya risiko politik. Ketidakpercayaan terhadap pemerintah yang juga masih tinggi," katanya kepada Bisnis, Jumat (15/8/2025).
Rp524 Triliun dari Sumber Pajak Baru
Padahal sebelumnya, Center of Economics and Law Studies (Celios) mengungkapkan bahwa terdapat potensi penerimaan negara Rp524 triliun setiap tahunnya dari sumber-sumber pungutan pajak baru.
Temuan itu diungkapkan Celios dalam publikasi bertajuk Dengan Hormat, Pejabat Negara: Jangan Menarik Pajak Seperti Berburu di Kebun Binatang.
Direktur Kebijakan Fiskal Celios Media Wahyudi Askar menilai pemerintah semakin bergantung pada pajak konsumsi yang regresif seperti pajak pertambahan nilai (PPN). Misalnya kontribusi PPN mencapai Rp819 triliun atau 36,7% dari total penerimaan pajak pada 2024.
Masalahnya, sambung Media, PPN lebih menekan rakyat kecil yang hampir seluruh pendapatannya dipakai untuk konsumsi—beda dengan para kelompok kaya yang pendapatannya hanya sebagian kecil untuk konsumsi.
"Coba bayangkan Rafi Ahmad, Deddy Corbuzier, mereka punya uang triliunan rupiah, mereka gak mungkin spending Rp1 miliar per hari. Mereka hanya bisa spending sedikit uang secara persentase dari total pendapatan mereka. Berbeda dengan masyarakat miskin, yang menghabiskan bahkan 120% dari pendapatannya untuk spending, 20%-nya datang dari hutang," ujar Media dalam agenda peluncuran publikasi di Jakarta, Selasa (12/8/2025).
Oleh sebab itu, dia melihat pemerintah hanya gagah di hadapan rakyat kecil tapi kurang bernyali di hadapan super kaya. Celios pun mendorong agar pemerintah menerapkan pajak progresif.
Mereka mengidentifikasi sebelas sumber potensi penerimaan baru yang lebih progresif. Pertama, tinjauan ulang insentif pajak yang tidak tepat sasaran dengan potensi penerimaan capai Rp137,4 triliun per tahun.
Kedua, penerapan pajak kekayaan. Berdasarkan perhitungan Celios, potensi penerimaan negara dari pajak kekayaan hanya dari 50 orang terkaya di Indonesia saja mencapai Rp81,6 triliun per tahun.
Ketiga, pajak karbon dengan potensi penerimaan mencapai Rp76,4 triliun per tahun. Keempat, pajak produksi batu bara dengan potensi penerimaan sebesar Rp66,5 triliun per tahun.
Kelima pajak windfall profit atau pungutan atas kenaikan laba berturut-turut akibat lonjakan harga komoditas sektor ekstraktif dengan potensi penerimaan Rp50 triliun per tahun. Keenam, pajak pengurangan keanekaragaman hayati dengan potensi Rp48,6 triliun per tahun.
Ketujuh, pajak digital dari perusahaan jasa digital besar dengan potensi penerimaan capai Rp29,5 triliun per tahun. Kedelapan, peningkatan tarif pajak warisan dengan potensi penerimaan Rp20 triliun per tahun.
Kesembilan, pajak kepemilikan rumah ketiga dengan potensi penerimaan Rp4,7 triliun per tahun. Kesepuluh, kenaikan tarif pajak capital gain atau keuntungan dari saham dan aset finansial lainnya sebesar Rp7 triliun per tahun.
Kesebelas atau terakhir yaitu cukai minuman berpemanis dalam kemasan, yang dinilai dapat mendukung kesehatan publik sekaligus menambah potensi penerimaan hingga Rp3,9 triliun.
"Ini kalau kita total dengan pendekatan yang progresif atau optimis, itu kita bisa mendapat penerimaan hingga Rp524 triliun. Saya kira sangat besar kalau setiap tahun kita bisa memaksimalkan angka hingga Rp524 triliun," ujar Peneliti Celios Jaya Darmawan pada kesempatan yang sama.