Bisnis.com, JAKARTA - Kementerian Perindustrian menyatakan minat investasi industri berbasis tembaga paling tertinggal diantara investasi industri mineral dan logam lainnya.
Menteri Perindustrian M.S Hidayat mengatakan secara teori, untuk membangun industri berbasis tembaga membutuhkan teknologi dan investasi yang lebih besar dibandingkan industri mineral dan logam lainnya. Sementara itu, teknologi di Indonesia belum mampu mengimbanginya.
“Sekarang transfer teknologinya, setiap investor yang masuk ke Indonesia harus mengajak local partner. Tembaga lebih sulit dibandingkan nikel, bauksit, dan iron ore, itu tidak ada masalah,” kata Hidayat hari ini, Jumat (27/9/2013).
Meski sulit, lanjut Hidayat, produsen tembaga dan emas seperti PT Freeport Indonesia sudah siap memasok konsentrat untuk pabrik pengolahan dan pemurnian mineral (smelter) dalam negeri. Selain telah memasok konsentrat ke pabrik smelter milik PT Smelting di Gresik, Freeport akan mengalokasikan konsentrat untuk PT Indosmelt dan PT Indovasi Mineral Indonesia.
“Sekarang ini yang sudah ground breaking pabrik smelter mineral logam ada enam perusahaan,” tuturnya.
Hidayat mengatakan, pada awal Oktober, pihaknya akan bertemu dengan Presiden China untuk menandatangani perjanjian goverment to goverment (g-to-g) rencana pengembangan kawasan industri di Indonesia Timur.
"Investor besar dari Republik Rakyat China (RRC) mau investasi di smelter. Selama ini suplai nikel kebanyakan ke RRC, setelah RRC tahu peraturannya (UU No.4/2009 tentang Minerba) mereka tertarik. Nanti hasilnya juga ada yang akan diekspor ke mereka,” jelasnya.
Menurutnya, China sudah berkomitmen untuk masuk ke Indonesia melalui industri manufaktur, terutama sektor mineral dan infrastruktur. Nantinya, akan ada sekitar 10 Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang berpartisipasi di kawasan industri tersebut. Adapun masing-masing lokasi membutuhkan investasi sekitar US$2 miliar sehingga total US$20 miliar.
Adapun nilai US$20 miliar mencakup pengembangan kawasan industri dan pabrik. Selama ini, sebagian besar hubungan Indonesia dengan China hanya sebatas trading/perdagangan, dan hanya industri minyak dan gas bumi. Namun, dengan pemimpin yang baru, lanjut Hidayat, China juga masuk era baru dan berani masuk ke Indonesia dengan berinvestasi di bidang manufaktur dan infrastruktur.
Berdasarkan data Kemenperin, sejak 2012 hingga Agustus 2013, total rencana investasi di sektor industri berbasis sumber daya alam terbarukan dan tidak terbarukan mencapai US$28,8 miliar. Adapun kontribusi paling besar ditopang oleh investasi industri berbasis mineral logam dengan nilai investasi US$17,5 miliar.
Adapun berdasarkan data Kementerian ESDM, hingga September sudah ada 125 smelter yang siap dibangun. Jumlah tersebut merupakan bagian dari 300 proposal pembangunan smelter yang sudah masuk ke pemerintah. Sekitar 97 dari 125 smelter yang akan dibangun baru mencapai 0%-5% pembangunannya.