Bisnis.com, JAKARTA—Kementerian Perdagangan akan segera mempersiapkan argumentasi berisi perhitungan biaya produksi biodiesel ke Dispute Settlement Body WTO, terkait dengan tuduhan dumping yang dilakukan industri bahan bakar terbarukan tersebut.
“Kami akan membuktikan bahwa besaran bea anti-dumping itu bisa terukur. Semua bentuk allowance harus dikeluarkan dalam perhitungan anti-dumping karena tidak mempengaruhi biaya produksi,” kata Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan Bachrul Chairi kepada wartawan, Jumat (25/10/2013).
Menurutnya, yang dimasukkan dalam perhitungan penentuan BMAD adalah biaya yang secara langsung mempengaruhi biaya produksi suatu barang. Pihaknya akan melakukan peninjauan ulang atas biaya produksi biodiesel.
Hal tersebut, lanjutnya, seperti yang dilakukan pemerintah saat merespon tuduhan subsidi udang oleh Amerika Serikat. Saat itu, pemerintah berpendapat banyak perhitungan yang seharusnya tidak dimasukkan dan setelah dilakukan peninjauan ulang akhirnya menghasilkan keputusan de minimis, atau terbukti bebas subsidi.
Bachrul mengungkapkan proses penghitungan ulang biaya produksi hanya memakan waktu kurang dari 1 hari, sehingga pengajuan ke DSB WTO bisa dipersiapkan secepatnya. Pemerintah bersikeras pendapat Komisi Eropa keliru.
Berdasarkan Keputusan Komisi Eropa No. 490/2013 perusahaan yang terkait dengan tuduhan kasus dumping diantaranya PT Wilmar Bioenergi Indonesia, PT Wilmar Nabati Indonesia, PT Musim Mas Group, PT Ciliandra Perkasa Group, dan PT Pelita Agung Agrindustri.
Sebelumnya, Komisi Eropa menuduh Indonesia melakukan dumping atau menjual produk biodiesel dengan harga lebih rendah dari harga jual di dalam negeri. Terdapat dua pendapat yang memberatkan industri biodiesel Tanah Air.
Pertama, Komisi Benua Biru berpendapat berdasarkan hitungan biaya produksi yang mereka rinci, perusahaan bahan bakar terbarukan mendapatkan keuntungan hingga 15% dari hasil ekspor.
Kedua, mereka menganggap harga bahan baku biodiesel yakni minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) menggunakan standar harga di Amsterdam sehingga biaya produksi tinggi. Harga CPO di Negeri Kincir Angin tersebut memang lebih tinggi 15%-20% setelah ditambah dengan pajak ekspor (export tax) dibandingkan dengan harga di Indonesia.