Bisnis.com, JAKARTA - Secara kasat mata, kepemimpinan Donald Trump telah menjungkirbalikkan ketentuan perdagangan bebas di bawah WTO, tetapi dalam hal kebijakan trade remedies, negara tersebut menggunakan seluruh instrumen WTO yang tersedia, yaitu Anti Dumping, Anti Subsidi dan Safeguard) sebagai senjata ampuh untuk melindungi industri dalam negerinya.
Sejak beberapa tahun terakhir, AS secara agresif telah menerapkan tindakan trade remedies untuk melindungi industri panel surya domestiknya. Pada 21 April 2025 lalu, U.S. Department of Commerce (USDOC) mengumumkan hasil akhir investigasi anti-dumping dan anti-subsidi terhadap produk panel surya impor dari Kamboja, Malaysia, Thailand, dan Vietnam.
USDOC mengkonfirmasi bahwa impor dari negara-negara anggota Asean tersebut dijual dengan harga dumping di pasar AS dan menerima subsidi yang dilarang, sehingga layak dikenakan Bea Masuk Anti Dumping (BMAD) dan Bea Masuk Imbalan (BMI).
Bea masuk tambahan yang dikenakan pada empat negara tersebut sangat signifikan, yaitu BMAD hingga 271,28% dan BMI hingga 3.403,96%. Pengenaan bea masuk tambahan yang sangat tinggi ini menunjukkan keseriusan AS dalam melindungi industri panel surya domestiknya dengan instrumen trade remedies.
Di sisi lain, pada investigasi tahun 2018 dan tahun 2022 Indonesia dikecualikan dari pengenaan Bea Masuk Tindakan Pengamanan (BMTP) untuk produk panel surya karena pangsa impor asal Indonesia masih berada di bawah ambang batas aman 3% dan tidak terbukti menyebabkan lonjakan impor di AS.
Lantas bagaimana kinerja ekspor produk panel surya Indonesia ke AS dan apa implikasi pengenaan tarif tinggi AS untuk empat negara Asean tersebut bagi Indonesia?
Baca Juga
Panel surya diminati oleh masyarakat dunia karena mampu menghasilkan energi dengan memanfaatkan sinar matahari. Keunggulan utama yang dapat diperoleh dari penggunaan panel surya adalah meminimalisir pengeluaran untuk biaya listrik.
Kebutuhan masyarakat AS terhadap produk panel surya semakin meningkat dari tahun ke tahun. Pada tahun 2000, panel surya belum populer di AS. Namun, pada tahun 2023 kebutuhan panel surya di AS melonjak hampir mencapai 140.000 megawatts. Data Statista (2025) mencatat bahwa pada 2023 kebutuhan panel surya di AS didominasi oleh sektor utility-scale 124.524 megawatts (MW), residential 36.360 MW, komersial 18.940 MW, dan community solar 6.614 MW.
AS menempati peringkat pertama sebagai negara tujuan utama ekspor Indonesia untuk produk panel surya. Untuk produk dengan HS 85414200, tercatat peningkatan nilai ekspor 9%, dari US$22,51 juta di tahun 2023 menjadi US$38,02 pada 2024, dan untuk produk dengan HS 85414300, perubahan mencapai 149% dari US$222,57 juta pada 2023 menjadi US$553,55 juta pada 2024.
Pengenaan BMAD dan BMI ini berlaku untuk lebih dari 30 produsen/eksportir panel surya di empat negara Asean yang merupakan pesaing Indonesia dengan rata-rata tarif gabungan mencapai sekitar 870%. Fakta ini menunjukkan bahwa Indonesia memiliki peluang besar untuk mengisi kekosongan pasar AS yang ditinggalkan oleh negara-negara dimaksud.
Faktor lain yang dapat mendukung ekspor panel surya Indonesia ke AS adalah pertumbuhan tahunan kebutuhan warga AS untuk produk tersebut. Kebutuhan panel surya di AS tidak selalu menunjukkan peningkatan, tapi secara mayoritas memiliki kecenderungan untuk meningkat.
Data Statista (2025) menunjukkan bahwa pada tahun 2010, peningkatan tahunan demand warga AS terhadap panel surya hanya 4%, namun pada tahun 2023 peningkatan kebutuhan warga AS untuk produk tersebut mencapai 55%. Pertumbuhan peningkatan demand tersebut menandakan semakin meningkatnya kesadaran masyarakat AS terhadap sumber listrik yang efisien dan ramah lingkungan.
POTENSI ANCAMAN
Ekspor produk panel surya Indonesia ke AS tumbuh pesat. Berdasarkan data BPS, untuk HS 85414300 pada 2023 dan 2024 nilai ekspor panel surya meningkat menjadi US$222,57 juta dan US$553,55 juta, dengan persentase perubahan 143%.
Sementara menurut Trademap, data impor AS dari Indonesia tahun 2024 menunjukkan peningkatan nilai impor sebesar 139% bila dibandingkan dengan tahun 2023, yaitu dari US$184.568 menjadi US$441.234. Pangsa impor dari Indonesia juga mencapai 2,9%, atau sudah mendekati ambang batas kritis 3% untuk pengecualian pengenaan BMTP sesuai dengan perjanjian WTO-Safeguards.
Hal penting lain yang perlu diwaspadai adalah negara-negara pesaing di Asean dimaksud dikenakan BMI atas berbagai elemen tuduhan subsidi transnasional. Secara spesifik subsidi transnasional ini diasosiasikan dengan proyek-proyek investasi China yang masuk dalam kerangka kerjasama Belt and Road Initiatives.
Dalam kaitan ini, potensi ancaman yang perlu diwaspadai adalah tersebarnya sejumlah proyek industri, termasuk panel surya, di berbagai daerah di Indonesia, yang pada umumnya adalah hasil kerja sama Indonesia dan China, dan merupakan investasi atau penanaman modal asing langsung dari industri induknya di China.
Ancaman pengenaan BMAD, BMI, dan BMTP terhadap ekspor panel surya Indonesia ke AS sangat nyata, terutama jika volume impor AS dari Indonesia terus meningkat.
Pemerintah seyogianya segera meningkatkan koordinasi dengan asosiasi panel surya Indonesia dan para pelaku industri, guna meningkatkan literasi mengenai instrumen trade remedies dan sekaligus juga melakukan pendampingan agar produsen eksportir panel surya melakukan pricing strategy yang wajar, tidak menerima bantuan pemerintah yang dikategorikan sebagai subsidi yang dilarang, dan mengendalikan volume ekspor secara sukarela sehingga importasi AS dari Indonesia secara nasional tidak melewati ambang batas aman.
Di samping itu, diperlukan juga diversifikasi pasar ekspor panel surya untuk mengurangi ketergantungan Indonesia pada pasar AS sekaligus agar dapat bertahan dari dampak perang dagang global yang dipicu oleh tarif Trump.
Perluasan cakupan negara tujuan ekspor ini dapat meliputi negara-negara di benua Eropa, Timur Tengah dan Australia. Data BPS menunjukkan bahwa Indonesia juga mengekspor panel surya ke negara-negara seperti Jerman, Turki, Irlandia, dan Perancis tetapi volume dan nilainya masih relatif kecil dibandingkan dengan ekspor ke AS.
Akhirnya dapat disimpulkan bahwa konteks perang dagang AS-China tidak berakhir hanya di tarif tinggi atau tarif resiprokal saja. Ia juga sudah merambah ke instrumen trade remedies yang sangat efektif untuk membatasi impor secara legal dan legitimate.
Apakah intensitas penggunaan instrumen trade remedies ini adalah senjata baru AS untuk menekan Beijing melalui negara-negara mitranya di Asia Tenggara? Wallahualam. Satu hal yang jelas Indonesia harus bersiap untuk memitigasi dampak resikonya.