Bisnis.com, JAKARTA - Jumlah gula rafinasi yang merembes ke pasar mencapai 850.000 ton pada 2013 dan 650.000 ton pada 2012, sementara Kemendag mengklaim temuan perembesan gula rafinasi itu sudah terjadi penurunan.
Jumlah tersebut merujuk kepada laporan anggota Asosiasi Pengusaha Gula Terigu Indonesia (Apegti). "Bagi Apegti perembesan gula rafinasi turun atau naik ini adalah menyalahi aturan yang ada. Pencabutan izin dan sanksi pidana ekonomi jelas, supaya ada efek jera," kata Ketua Apegti Natsir Mansyur melalui siaran pers, Senin (20/1/2014).
Menurut dia, perembesan itu dapat merontokkan industri gula kristal putih untuk konsumsi. Pihaknya berharap agar Dewan Gula Indonesia lebih aktif merespon perembesan ini. "Kalo tidak peka sebaiknya DGI dibubarkan saja," katanya.
Untuk itu, Apegti meminta Kementerian Perdagangan serius memberikan sanksi kepada perusahaan industri rafinasi yang terbukti melakukan perembesan gula mentah itu ke pasaran. Lantaran permasalahan perembesan gula mentah dengan kandungan diabetes tinggi ini, pengusaha kecil sebagai penyalur diduga dinilai menjadi kambing hitam, sedangkan produsen gula rafinasi sanksinya sangat lunak.
Natsir mengatakan gula rafinasi diperuntukan bagi kebutuhan industri makanan minuman, bukan untuk konsumsi langsung. Hal itu karena sebelum dikonsumsi masih ada proses industri dari gula mentah menjadi gula rafinasi, lalu ke industri minuman makanan, kemudian diolah menjadi bahan makanan minuman.
"Jadi gula rafinasi tidak boleh dikomsumsi langsung. Perundang-undangan, Inpres, serta Keputusan Menperindag 527 sudah jelas sanksi hukum pidana ekonomi apabila gula rafinasi masuk pasaran umum (merembes) jadi kalau Kemendag dan Kemenperin hanya memberikan sanksi administrasi itu perlu dipertanyakan, apalagi perembesan ini sudah tiga tahun berturut-turut. Jika terus begini bukan insidentil namanya tapi penjualan terencana," papar Natsir.
Menurut dia, perembesan gula rafinasi sudah sistemik mempengaruhi industri gula kristal putih (GKP) untuk konsumsi sehingga berdampak negatif terhadap para petani tebu.
"Pabrik gula kristal putih konsumsi tutup, minat pengusaha bangun pabrik gula konsumsi tidak ada, swasembada gula tidak tercapai. Pengusaha gula konsumsi anggota Apegti tutup usaha, karena tidak mampu bersaing dengan gula rafinasi yang lebih murah. Penyelundupan gula konsumsi di perbatasan pun tetap terjadi," ungkap Natsir.