Bisnis.com, BANDUNG --Para peternak meminta pemerintah melalui Kementerian Perdagangan membuat kebijakan untuk menurunkan harga DOC unggas.
Persatuan Pengusaha Unggas Indonesia meminta pemerintah tidak menetapkan harga referensi ayam di tingkat peternak dan konsumen, namun menurunkan harga day old chick atau DOC dan pakan di tingkat peternak.
Ketua PPUI Ashwin Pulungan mengatakan apabila pemerintah menetapkan harga referensi ayam tidak akan menyelesaikan masalah pada kesejahteraan peternak.
Dia beralasan apabila harga DOC dan pakan ternak masih tinggi, tetap saja akan membuat peternak rugi.
“Kalau harga referensi ayam ditetapkan sama saja peternak merugi. Karena yang menentukan itu adalah harga DOC dan pakan ternak, bukan harga akhirnya,” katanya kepada Bisnis, Senin (14/4.2014).
Dia menyebutkan harga DOC saat ini tidak rasional mencapai Rp6.000 per ekor, semestinya diturunkan menjadi Rp3.500 per ekor. Sementara harga pakan ternak sekarang mencapai Rp.6.500 per kilogram, semestinya Rp4.000 kilogram.
Dia menjelaskan apabila harga DOC dan pakan rendah, secara otomatis harga ayam hidup/mati akan tinggi atau dapat ditentukan dari akumulasi biaya operasional pemeliharaan.
“Kalau sudah ditetapkan harga referensi ayam, terus harga DOC dan pakan tinggi yang rugi siapa? Tentunya hal ini juga harus dipikirkan soal daya beli konsumen,” katanya.
Ashwin menuding penaikan harga referensi ayam bukan murni keinginan peternak, melainkan ditunggangi oleh penanam modal asing (PMA).
Menurutnya, saat ini peternak rakyat mayoritas sudah menyewakan kandangnya ke PMA, yang secara otomatis mereka tidak dapat menyejahterakan ekonomi.
“Kami menduga ini ada kepentingan dari PMA, karena mereka sudah meraup untung dari berbagai sektor mulai dari pembibitan hingga memproduksi ayam,” katanya.
Semestinya peternak mendesak perubahaan (UU) Nomor 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan, karena UU tersebut sangat membebaskan PMA untuk membuat industri peternakan yang terintegrasi tanpa melibatkan peternak rakyat di dalamnya.
Seperti diketahui, saat ini Kementerian Perdagangan sedang menggodok harga referensi ayam di tingkat peternak.
Sementara itu, Dinas Peternakan Jawa Barat menilai harga DOC dan harga pakan yang dinilai petenak terlalu tinggi merupakan hal yang fluktuaktif dari waktu ke waktu.
Kepala Disnak Jabar Doddy Firman Nugraha mengungkapkan perusahaan pembibit tentu sudah memperhitungkan harga break event point (BEP) dari harga DOC yang ditetapkan sehingga keuntungan juga tidak hanya diperoleh perusahaan melainkan juga oleh peternak.
“Hanya saja, mungkin keuntungan yang diberikan memang tidak sebesar dari apa yang diharapkan para peternak. Namun, idealnya ketika harga DOC naik maka harga ayam hidup dan daging ayamnya pasti juga naik,” katanya.
Doddy mengungkapkan yang ditakutkan para peternak saat ini adalah ketika harga ayam hidup dan daging ayam di pasar justru sama dengan harga akhir ketika harga DOC lebih rendah.
Begitu pula dengan harga pakan yang dinilai tinggi, disebabkan masih besarnya ketergantungan bahan baku pakan secara impor seperti jagung.
Disnak Jabar, menurut Doddy, saat ini tidak memiliki wewenang untuk menetapkan harga DOC dan pakan karena ketentuan tersebut merupakan wewenang pemerintah pusat dan perusahaan masing-masing.
“Tapi, hal-hal seperti ini secara terus-menerus sudah kami sampaikan kepada pemerintah di tingkat nasional, agar ada langkah-langkah tepat yang bisa diambil tanpa merugikan pihak mana pun,” ujarnya.