Bisnis.com, JAKARTA—Masyarakat Energi Terbarukan Indonesia (METI) mengungkapkan pengembangan diesel terkendala persoalan harga beli yang ditetapkan pemerintah.
Wakil Ketua Masyarakat Energi Terbarukan Indoensia (METI) Joi Surya Dharma mengemukakan pengembangan biodiesel untuk energi di Indonesia terkendala persoalan tarif. Pasalnya, tarif yang ditetapkan oleh Pemerintah masih di bawah harga ekspor.
“Sehingga pengusaha akan lebih tertarik mengekspor minyak sawit ke luar negeri kalau harga masih belum sesuai keekonomian,” katanya.
Berdasarkan Keputusan Menteri ESDM Nomor 2185/MEM/2014 tentang Harga Indeks Pasar Bahan Bakar Nabati (HIP BBN) Biodiesel penetapan harga biodiesel menggunakan acuan Mean of Platts Singapore (MOPS) BBM Landed Price, yakni harga biodiesel sampai di titik terminal BBM utama.
Pemilihan acuan harga BBN berdasarkan MOPS BBM didasari oleh korelasi yang cukup tinggi antara HIP Solar/MOPS Gasoil dengan Harga Patokan Ekspor (HPE) Biodiesel yang selama ini digunakan sebagai HIP biodiesel.
Nantinya, HIP Biodiesel tersebut dikonversi/diindeks ke dalam MOPS Gasoil sehingga diperoleh suatu formulasi berdasarkan MOPS Gasoil rata-rata pada periode satu bulan sebelumnya ditambah 3,48% MOPS.
Melalui penetapan HIP biodiesel yang baru, maka harga biodiesel akan mengikuti pola harga BBM yang riil sampai di terminal domestik (di mana biodiesel akan dicampurkan ke dalam solar) sehingga akan mempermudah untuk memprediksi harga dan mencegah terjadinya disparitas harga biodiesel dan solar.
“Harga itu masih belum sama dengan harga ekspor. Kalau ingin pengusaha tertarik, paling tidak harganya harus sama,” ujar Surya Dharma.
Selain itu, ketersediaan pabrik pengubah minyak kelapa sawit menjadi biodieselmasih belum banyak di Indonesia sehingga belum mampu mencapai target yang diharapkan pemerintah.
Sementara itu untuk membangun kilang, pengusaha membutuhkan kepastian biodieselyang dihasilkan akan dibeli oleh pemerintah.