Bisnis.com, JAKARTA --Sejumlah pengusaha impor mengaku telah memiliki strategi untuk mengantisipasi tekanan akibat depresiasi nilai tukar rupiah, yang bahkan sempat menembus level Rp12.000/dolar AS pekan ini.
Ketua Asosiasi Pengusaha Importir dan Distributor Minuman Impor (Apidmi) Agoes Silaban menjelaskan para importir biasanya sudah memperhitungkan margin untuk mengantisipasi fluktuasi nilai tukar.
“Kalau perbedaan nilai tukar terlalu tinggi, kenaikan harga terpaksa dilakukan,” katanya kepada Bisnis, Minggu (22/6/2014).
Ketua Asosiasi Importir dan Distributor Mainan Indonesia (AIMI) Eko Wibowo Utomo, mengaku lebih memilih menggunakan teknik wait and see untuk meredam kerugian.
“Posisinya, kalau kami mau beli barang akan kami tahan. Kalau kami beli barang kan bayar uang muka 30%. Kalau barang sudah jadi, baru kami bayar yang 70% dan diberangkatkan. Namun, kalau kondisi seperti ini, biasanya kami tahan, tinggal ada pengertian dari pabriknya atau eksportirnya. Kami beritahu masalah kondisi rupiah saat ini,” jelasnya kepada Bisnis.
Bagaimanapun, kata Eko, apabila fluktuasi nilai tukar rupiah sudah terlalu tidak terkendali, tak jarang importir tetap meminta agar pengiriman barang ditahan meski produk yang dipesanan telah siap dikapalkan
“Karena kalau tidak, kami bisa rugi. Fluktuasi tidak bisa diperkirakan, sementara [eksportir] sudah terlanjur lempar barang. Nanti kalau [harga] barangnya naik lagi, kami terima bayaran, tapi tidak bisa beli lagi,” tegasnya.
Eko mengaku gelombang depresiasi jelang Pilpres ini adalah yang terburuk tahun ini, meski jelang Pileg awal tahun perusahaannya pernah mengalami tekanan serupa. Menyadari musim fluktuasi yang tak terhindarkan, dia terpaksa memilih jalan menunggu untuk memastikan kondisi pasar.
Pada saat bersamaan, ungkapnya, para importir telah melakukan hedging dolar AS pada kisaran Rp12.000-Rp12.500. Apabila ternyata terjadi tekanan yang menyebabkan rupiah melemah di atas level tersebut, importir terpaksa menggunakan mekanisme penyesuaian harga.
“Kalau sampai di atas itu, ya nanti tinggal penyesuaian harga di lapangan, karena tidak ada pilihan. Namun, barang yang sudah terlanjur diambil, ya mau tidak mau harus dihabiskan. Tapi kalau ada barang baru, kami akan hedging,” tegasnya.
Impor nonmigas Indonesia membukukan tren kenaikan 16,34% sepanjang 2009-2013. Selama Januari-April 2014, nilai impor nonmigas tercatat menyentuh US$44,79 miliar, turun 4,64% dari periode yang sama tahun lalu.