Bisnis.com, BANDUNG— Asosiasi Industri Sabut Kelapa (AISKI) menyoroti mandulnya peran lembaga negara dalam menyokong kinerja ekspor sabut kelapa.
AISKI menilai seharusnya lembaga ekspor seperti Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI) dibentuk untuk mendorong peningkatan ekspor sekaligus menyediakan pembiayaan ekspor nasional.
Kabid Penelitian dan Pengembangan AISKI Ady Indra Pawennari menyatakan selama ini aktivitas ekspor sabut kelapa masih lesu.
Hal itu terlihat dari jumlah ekspor sabut kelapa, atau yang dikenal dengan sebutan coco fiber, tidak sampai 0,01% dari total produksi.
“Tahun lalu nilai ekspor sabut kelapa baru sekitar satu juta butir dari total produksi buah kelapa yang mencapai 15 miliar butir,” kata Ady kepada Bisnis, Kamis (11/9).
Selain itu, pengembangan industri coco fiber terkendala rendahnya kapasitas produksi akibat lemahnya infrastruktur.
Minimnya investasi, menurut Ady, menjadi salah satu biang terkait permasalahan tersebut.
“Untuk mendirikan pabrik pengolahan kelapa dibutuhkan biaya investasi sekitar Rp400 juta – Rp500 juta dengan kapasitas produksi sekitar 3 ton coco fiber sehari, pemerintah seharusnya mendukung industri dengan membantu membuka peluang investasi baik dari perusahaan nasional maupun asing,” ujar Ady.
Padahal menurutnya dengan memperlebar investasi di sektor pengolahan sabut kelapa, akan berdampak pada terbukanya peluang pekerjaan.
Dia mencontohkan biaya investasi tersebut sudah termasuk pengadaan tenaga kerja sebanyak 40-50 orang.
Dengan asumsi harga sabut kelapa di tingkat petani Rp60/butir, katanya, maka untuk mengolah sekitar 21.000 butir sabut kelapa pengusaha hanya memerlukan biaya operasional tidak lebih dari Rp2.000.000/hari, itu sudah termasuk upah tenaga kerja.
“Padahal nilai harga 3 ton coco fiber di pasar internasional bisa mencapai Rp12.000.000, karena coco fiber ekspor mencapai Rp4.000/kg. Maka pengusaha akan mengantongi keuntungan sebesar Rp10.000.000/hari,” katanya.
Pengamat Industri Perkelapaan Iyus Supriatna mengatakan potensi produksi sabut kelapa yang sedemikian besar selama ini belum dimanfaatkan sepenuhnya untuk kegiatan produktif yang dapat meningkatkan nilai tambah.
“Meski Indonesia merupakan negara penghasil kelapa terbesar di dunia, namun pangsa pasar serat sabut kelapa masih sangat kecil,” katanya.
Menurutnya, industri hilir selama ini belum mampu disediakan pemerintah sehingga pengolahan produksi sabut kelapa masih sebatas bahan mentah. Padahal, kecenderungan kebutuhan dunia terhadap serat kelapa meningkat.
“Di Jabar saja produksi kelapa di Jabar mencapai 1,32 juta butir per hari, jika dimanfaatkan dengan baik maka bisa bernilai ekonomi tinggi,” ujarnya.
Ekspor Sabut Kelapa Minim Dukungan
Asosiasi Industri Sabut Kelapa (AISKI) menyoroti mandulnya peran lembaga negara dalam menyokong kinerja ekspor sabut kelapa.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel
Penulis : Adi Ginanjar Maulana, Dimas Waradhitya
Editor : Rustam Agus
Topik
Konten Premium
Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.
13 jam yang lalu