Bisnis.com, JAKARTA — Pemerintah Indonesia bakal mengubah strategi berdagang dengan China untuk mengakhiri torehan sejarah defisit neraca perdagangan dengan raksasa Asia Timur tersebut.
Salah satunya strategi baru itu adalah dengan berhenti mencoba bersaing dari aspek efisiensi.
Oleh karena itu, ke depannya, produk yang diekspor ke China akan lebih menonjolkan diferensiasi dan spesifikasi yang mencerminkan kekhasan identitas yang tidak dimiliki negara lain.
“Bertempur dari segi efisiensi berat bagi kita, jadi kami pakai strategi diferensiasi. Indonesia harus lebih menampilkan apa keunikannya, apa diferensiasinya dibandingkan produk-produk negara lain,” kata Wamen Perdagangan Bayu Krisnamurthi, Selasa (23/9/2014).
Industri nasional, jelasnya, akan kesulitan apabila dipaksa bersaing dengan Negeri Panda melalui skema produksi massal.
Untuk mengatasinya, RI akan membidik bagian dari rantai nilai produk manufaktur di pasar China.
“Misalnya untuk alas kaki. Produsen China buat sepatu lari, kita akan masuk ke pasar sepatu sepak bola. Tidak bisa lagi sekadar dikategorikan sebagai sepatu olah raga. Harus lebih spesifik lagi. Itu yang akan digarap, value of product-nya.”
Indonesia, sambung Bayu, juga akan menembus segmen-segmen produk otentik nusantara seperti furnitur, karet, tekstil batik, minyak goreng, dan sebagainya yang tidak diproduksi oleh negara beribu kota Beijing itu.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), total perdagangan RI-China tumbuh positif 19,58% dalam lima tahun terakhir.
Tahun lalu, nilainya menembus US$52,45 miliar, sehingga menjadikan China sebagai mitra dagang terbesar bagi Indonesia.
Namun, neraca perdagangan RI terhadap Negeri Tirai Bambu terus mencatatkan defisit dari tahun ke tahun.
Pada 2013, shortfall perdagangan terhadap China mencapai US$7,24 miliar, turun tipis dari torehan defisit 2012 senilai US$7,72 miliar.
Sepanjang paruh pertama tahun ini, defisit dengan China bernilai US$5,86 miliar, membengkak 54,95% dari capaian tekor pada semester pertama tahun lalu senilai US$3,78 miliar.