Bisnis.com, BANDUNG—Pelaku usaha perunggasan menilai wacana penyusunan regulasi pembatasan impor grand parent stock (GPS) oleh pemerintah pusat tidak akan menguntungkan peternak rakyat.
Ketua Persatuan Pengusaha Unggas Indonesia (PPUI) Ashwin Pulungan menjelaskan impor GPS selama ini hanya dilakukan penanam modal asing (PMA) sehingga dampaknya tidak akan berpengaruh terhadap peternak rakyat.
“Sebenarnya bagi peternak rakyat tidak ada untung ruginya. Karena peternak rakyat sekarang sudah habis oleh PMA [penanam modal asing],” katanya kepada Bisnis, Selasa (30/9/2014).
Ashwin menyarankan pemerintah membiarkan impor GPS ke dalam negeri karena persaingannya terjadi di antara PMA.
Dia beralasan hal tersebut dibenturkan dengan pasar bebas Asean tahun depan, di mana regulasi itu berpotensi tidak berlaku lagi. Di sisi lain, apabila impor GPS tidak dibatasi maka harga ayam dan telur di kalangan konsumen akan jauh lebih murah.
“Dulu yang berwenang impor itu hanya ada satu perusahaan, namun sekarang sudah banyak. Jadi regulasi itu hanya kepentingan satu perusahaan saja yang tidak ingin bersaing dengan banyak perusahaan,” ujarnya.
Menurutnya, Indonesia saat ini belum mampu menghasilkan GPS karena masih rendahnya ahli peternakan untuk melakukan riset teknologi genetika.
“Di negara maju riset soal teknologi genetika GPS ini sudah dilakukan secara mendalam, sementara di Indonesia ahli peternakan masih jarang sehingga tidak mampu memperdalam riset,” katanya.
Adapun pemangkasan produksi DOC hingga 15% dan pembatasan harga jual maksimal Rp3.200 per ekor juga tidak berdampak terhadap peternak rakyat.
Ashwin mengaku yang menikmati regulasi tersebut tetap saja oleh PMA. Karena mereka telah menguasai sekitar 75% industri perunggasan nasional.
“Saat ini peternak rakyat yang mandiri hanya mencapai 3% dari total 80.000 peternak di seluruh Indonesia. Hal ini terjadi karena praktik PMA yang sudah menguasai perunggasan nasional,” katanya.
Dia menjelaskan semakin tertekannya peternak kecil akibat digantinya Undang-Undang No.6 Tahun 1967 menjadi UU No.18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan yang salah satu poinnya menganjurkan peternak besar bisa terintegrasi dari hulu hingga hilir.
“Sejalan dengan implementasi UU tersebut saat ini peternak rakyat semakin terpuruk dan gulung tikar secara permanen akibat tidak mampu bersaing dengan peternak besar,” ujarnya.
Sementara itu, Dinas Peternakan (Disnak) Jawa Barat optimistis bantuan 1.000 ekor GPS lokal Ayam Kampung Unggul Balitnak (KUB) dari Badan Litbang Kementerian Pertanian mampu memangkas impor yang selama ini dilakukan.
Kepala Disnak Jabar Doddy Firman Nugraha memproyeksikan dalam dua tahun ke depan pengembangan tersebut akan menghasilkan 15.000 ekor GPS.
"Pengembangan bibit ayam KUB adalah wujud intervensi pemerintah dalam menekan ketergantungan impor GPS sekaligus melawan dominasi ayam broiler," ujarnya.