Bisnis.com, JAKARTA—Para pelaku industri gula rafinasi menuntut kejelasan kuota impor gula mentah 2015 dari pemerintah selambat-lambatnya bulan ini.
Adapun, alokasi yang mereka minta ke Kementerian Perindustrian adalah 3,2 juta ton atau naik 14,28% dari kuota 2014.
Padahal, pemerintah bersikeras mendesak agar alokasi impor gula mentah tahun depan diturunkan dari total yang diberikan Kementerian Perdagangan tahun ini sejumlah 2,8 juta ton. Kuota impor raw sugar 2014 sendiri turun 7,5% dari periode 2013 sejumlah 3,19 juta ton.
Ketua Umum Asosiasi Gula Rafinasi Indonesia (AGRI) Wisnu Hendraningrat menjelaskan apabila Kemendag mengumumkan alokasi impor gula mentah melebihi November, dikhawatirkan ketersediaan gula rafinasi untuk Januari tidak akan tercukupi.
“Buat tahun depan harus keluar bulan ini, untuk memperhitungkan bahan baku. Kalau tidak, bisa-bisa ada carry over ke tahun depan. Bisa-bisa Januari langsung naik permintaan dan produksinya. Itu juga harus diperhitungkan pemerintah,” tuturnya dalam pertemuan terbatas, Senin sore (17/11/2014).
Menurutya, kepastian alokasi impor 2015 tidak bisa ditunda agar tidak mengganggu jadwal pemesanan gula mentah yang membutuhkan waktu minimal 45 hari. Jika tidak, mereka harus membayar ongkos demurrage (biaya kelebihan waktu labuh) US$14.000/hari.
Sementara itu, perhitungan alokasi impor untuk dibagi kepada 11 industri rafinasi dengan kapasitas terpasang 3,6 juta ton didasari oleh proyeksi pertumbuhan kebutuhan yang naik 2,5% per tahun dan pertumbuhan industri makanan dan minuman (mamin) 6% per tahun.
Menurut catatan AGRI, kuota impor gula mentah 2015 memang sudah waktunya dinaikkan mengingat pemotongan alokasi dari 3,05 juta ton menjadi 2,8 juta ton tahun ini saja tidak cukup. Dampaknya, sejak September sudah ada 4 pabrik rafinasi yang berhenti produksi.
Keempat pabrik tersebut a.l. PT Berkah Manis Makmur, PT Makasar Tene, PT Duta Sugar International, dan PT Dharmapala Usaha Sukses. Mereka dilaporkan kekurangan bahan baku untuk memenuhi kontrak yang sudah terlanjur mereka teken dengan industri mamin.
“Mereka menjadwalkan produksi berdasarkan kontrak industri mamin. Tahun-tahun sebelumnya, izin impor kan dikeluarkan berdasarkan kontrak. Sampai akhir tahun ini ada indikasi masih ada yang bakal tutup lagi. Kami khawatir pasokan ke industri mamin akan terganggu dan itu akan menimbulkan gejolak yang lebih buruk.”
Wisnu menegaskan pihaknya akan menerima keputusan apabila Kemendag tidak mengabulkan permintaan untuk menaikkan kuota impor 2015, asalkan pemerintah mengumumkan secepatnya agar industri rafinasi dapat mendiskusikannya dengan mamin.
“Kalau tidak dituruti kenaikannya, silakan. Tapi kalau di ujung tahun ada gejolak dan mamin ribut, ya biar [pemerintah] sendiri yang lihat. Tapi tolong, disampaikan lebih awal supaya kami bisa mengubah perencanaan,” ujarnya.
MASALAH DISTRIBUSI
Pada perkembangan lain, rencana otoritas perdagangan untuk melarang penyebaran gula rafinasi melalui tangan distributor dikhawatirkan bakal mengganggu arus suplai ke industri mamin skala kecil. Pasalnya, mereka hanya mampu membeli kuantum dalam jumlah kecil.
Direkur Eksekutif AGRI Yamin Rahman menjelaskan UKM juga membutuhkan gula yang berkualitas, karena sebagian produk mereka juga diekspor. “Itu sebabnya kami pakai distributor.”
“Mungkin yang perlu diatur adalah pengawasan atau pengendaliannya. Kami melakukan kerja sama dengan koperasi untuk dijadikan distributor untuk melayani anggota-anggotanya. Sayang enggak begitu jalan, karena mereka belinya sedikit jadi biaya operasionalnya tinggi.”
Untuk diketahui, impor gula mentah bukan hanya dilakukan oleh AGRI. Impor idle capacity juga dilakukan oleh pabrik gula berbasis tebu seperti MSG, perusahaan swasta, maupun BUMN.
Berdaasarkan laporan P75H, proyeksi kebutuhan gula nasional berjumlah 5,7 juta ton, terdiri dari 2,9 juta ton gula kristal putih (GKP) dan 2,7 juta ton gula kristal rafinasi (GKR) atau setara dengan 2,9 juta ton gula mentah. Adapun, impor GKR pada 2014 berjumlah 65.000 ton untuk kebutuhan spesifikasi khusus seperti industri farmasi.
Menurut Yamin, oversuplai yang terjadi saat ini bukan disebabkan oleh rembesan gula rafinasi di pasar konsumen, melainkan oleh siklus produksi GKP yang hanya 6 bulan dengan lama pemasaran 12 bulan.
“Mulai Juni-November produksinya 2,5 juta ton. Jadi, gula emang menumpuk untuk didistribusikan 220.000 ton per bulan sampai Juni tahun depan. Jadi ya memang menumpuk. Jadi bukan karena rafinasi, tapi karena pola produksinya,” ujarnya.
Pemerintah sebelumnya mendesak agar impor gula mentah tahun depan dikurangi akibat adanya kelebihan suplai itu masih ada yang di carryover sampai pada 2014.
Ditambah lagi, survei AC Nielsen menyatakan bahwa permintaan gula pada tahun ini menurun sekitar 10%-15%.
Kondisi carryover kelebihan suplai gula yang berbanding lurus dengan penurunan permintaan pada 2014 itu terjadi bersamaan dengan ketidaksesuaian kalkulasi antara kebutuhan dan harga gula.
Dengan latar belakang tersebut, Kemendag menyampaikan rekomendasi agar pemerintahan Presiden Joko Widodo mengendalikan impor gula mentah (raw sugar) secara lebih ketat untuk sisa tahun ini dan 2015.