Bisnisn.com, JAKARTA — Ekonom memberi catatan, high cost economy akibat suku bunga yang melambung tinggi berpotensi menurunkan daya saing produk lokal. Risikonya, konsumen bisa beralih ke produk impor dan memperlebar defisit neraca transaksi berjalan yang hendak ditekan.
“Masyarakat kita itu import-minded, walaupun harganya sama atau lebih mahal. Apalagi kalau harga di dalam negeri juga mahal,” kata Direktur Institute for Development Economy and Finance (Indef) Enny Sri Hartati, Kamis (27/11/2014).
Dia menambahkan saat suku bunga acuan atau Bank Indonesia (BI) rate masih di level 7,5% hanya segelintir korporasi raksasa yang memperoleh pinjaman dengan single digit. Sisanya harus meminjam dengan bunga double digit. Bahkan, pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) diganjar bunga pinjaman melebihi 20%.
Dengan kondisi tersebut, meski pelaku usaha bisa mengakses pinjaman untuk berproduksi atau berekspansi tetapi pembiayaan yang mahal membuat daya saing produk yang dihasilkan menurun.
Pekan lalu BI menaikkan dosis moneternya dengan meningkatkan suku bunga acuan sebesar 25 basis poin (bsp) menjadi 7,75%. BI mengatakan langkah ini dilakukan untuk menjangkar ekspektasi inflasi yang kadung tinggi akibat kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi.
Selain itu, kebijakan tersebut juga diambil untuk menekan importasi dan pada gilirannya mempersempit defisit neraca transaksi berjalan yang diarahkan ke level defisit 2,5%-3% terhadap produk domestik bruto (PDB).
Enny mengakui kebijakan moneter ketat ini memang berhasil mengerem importasi selama beberapa bulan ke belakang. Data dari BI menunjukkan defisit neraca transaksi berjalan per kuartal III/2014 menciut 21,3% menjadi US$6,84 miliar dari kuartal sebelumnya yang masih di level minus US$8,7 miliar.
Lebih lanjut dia menambahkan meski instrumen moneter berfungsi mengendalikan sisi permintaan, pemerintah dan otoritas moneter harus mengkalkulasi pengaruh peningkatan suku bunga terhadap biaya produksi. “Tetapi ini kan ada perubahan. Ada dinamika, sudah ada juga tekanan dari UMP (upah minimum provinsi). Ini yang mesti dihitung,” katanya.
Di sisi lain, jika sebelumnya pelemahan mata uang Garuda terhadap dolar Amerika Serikat ikut menciutkan impor dan menstimulus ekspor, kini rupiah mulai terapresiasi. Sempat anjlok mendekati Rp12.300-an kini rupiah beranjak menguat ke kisaran Rp12.100 pascakenaikan harga BBM.
Kemarin, rupiah tercatat menguat tipis 0,01% ke level Rp12.176 per dolar AS di Bloomberg Dollar Index. Adapun berdasarkan Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (Jisdor) Rp12.179 atau melemah 19 poin dari sehari sebelumnya pada posisi Rp12.160.
Enny menambahkan sebagian besar importasi sebenarnya bukan berupa bahan baku. “Omong kosong, bahan baku itu juga termasuk suku cadang misalnya, sudah jadi barang konsumsi,” katanya.
Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan selama Januari-September 2014 impor nonmigas dari golongan barang jadi seperti plastik dan barang plastik, kendaraan bermotor dan bagiannya, barang dari besi dan baja, serta sisa industri makanan mencapai total US$16,37 miliar atau 16% dari total impor.
Sementara penyumbang terbesar adalah dari mesin dan peralatan mekanik serta mesin dan peralatan listrik yang secara kumulatif menyumbang hingga 32,15% atau mencapai sekitar US$32,5 miliar terhadap impor Januari-September tahun ini.
Daya Saing Produk Lokal Terancam Melorot
Ekonom memberi catatan, high cost economy akibat suku bunga yang melambung tinggi berpotensi menurunkan daya saing produk lokal. Risikonya, konsumen bisa beralih ke produk impor dan memperlebar defisit neraca transaksi berjalan yang hendak ditekan.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel
Penulis : Ardhanareswari AHP
Editor : Martin Sihombing
Topik
Konten Premium
Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.
9 menit yang lalu
Setelah GJTL, Giliran Saham ABMM Diborong Lo Kheng Hong
1 jam yang lalu
Tekanan Harga Batu Bara dari Banjir Produksi China
Artikel Terkait
Berita Lainnya
Berita Terbaru
11 menit yang lalu
Rupiah Ambruk, Bahlil Wanti-wanti Dampak ke Impor BBM & LPG
49 menit yang lalu
Pekerja Informal Jadi Beban Ekonomi Indonesia?
1 jam yang lalu