Bisnis.com, JAKARTA—Angka shortfall atau selisih antara realisasi dan target penerimaan pajak pada tahun ini diperkirakan akan mencatatkan rekor terbesar sepanjang sejarah mengingat penerimaan pajak Januari-26 November 2014 baru tercatat Rp747,16 triliun.
Berdasarkan perkiraan pemerintah (dengan asumsi shortfall Rp76 triliun), penerimaan pajak Januari-November 2014 seharusnya mencapai Rp790 triliun. Akan tetapi, realisasi yang diraup pemerintah justru lebih kecil, atau kurang Rp42,54 triliun.
Apabila target setoran pajak pada Desember mencapai target, maka shortfall penerimaan pajak (minus PPh migas) hingga akhir tahun bakal mencapai Rp118,54 triliun. Dengan kata lain, angka shortfall itu memecahkan rekor shortfall pada tahun sebelumnya sebesar Rp88 triliun.
Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo mengatakan peluang angka shortfall pajak mencatatkan rekor memang cukup besar. Pasalnya, strategi yang dilakukan Ditjen Pajak selama ini tidak mencatatkan hasil yang signifikan.
“Saya kira penerimaan pajak ini berjalan biasa saja, tidak ada ekstra effort sama sekali. Pemeriksaan wajib pajak, pencekalan hingga gijzeling pada beberapa waktu yang lalu itu hanya sekadar kegaduhan dari pemerintah saja,” ujarnya ketika dihubungi, Minggu (28/12).
Seperti diketahui, beberapa waktu yang lalu, Ditjen Pajak gencar melakukan upaya penegakkan hukum perpajakan, dari upaya penagihan pajak aktif, pencekalan hingga penyanderaan atau gijzeling. Adapun, sebanyak 31 wajib pajak bakal dilakukan gijzeling.
Sepanjang Januari-Desember, Ditjen Pajak telah telah memproses 487 usulan pencegahan terhadap wajib pajak, dengan total nilai tagihan pajak mencapai Rp3,32 triliun. Namun, sayangnya, setoran yang diraup pemerintah baru Rp24 miliar.
“Sayangnya, hal itu belum bisa berkontribusi mengingat baru berjalan intensif pada awal bulan ini. Ini juga sebenarnya menjadi pertanyaan, apa saja yang dilakukan otoritas pajak dalam pengelolaan pemeriksaan 11 bulan kemarin,” ujar Yustinus.
Menurutnya, sulitnya Ditjen Pajak menggenjot penerimaan pajak, terutama dalam pemeriksaan wajib pajak dikarenakan ketidakakuratan data-data yang dimiliki. Akibatnya, upaya otoritas pajak dalam mencari potensi penerimaan pajak menjadi tidak optimal.