Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Gubernur BI : Waspadai Krisis Yunani

Bank Indonesia mewanti-wanti pengaruh risiko kekacauan ekonomi politik di Yunani terhadap kondisi perekonomian dalam negeri, terutama fluktuasi nilai tukar rupiah.
Gubernur Bank Indonesia Agus Martowardojo/Bisnis Indonesia
Gubernur Bank Indonesia Agus Martowardojo/Bisnis Indonesia

Bisnis.com, JAKARTA-- Bank Indonesia mewanti-wanti pengaruh risiko kekacauan ekonomi politik di Yunani terhadap kondisi perekonomian dalam negeri, terutama fluktuasi nilai tukar rupiah.

Pada penutupan perdagangan, Senin (5/1/2014) rupiah terdepresiasi 0,55% menjadi Rp12.614 di Bloomberg Dollar Index. Dalam transaksi tersebut, rupiah sempat anjlok hingga Rp12.718 per dolar Amerika Serikat sebelum menguat tipis. Posisi ini sekaligus menjadi yang terendah sejak tiga pekan terakhir.

Sementara itu, nilai tukar mata uang Garuda berdasarkan Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (Jisdor) yang dipatok oleh BI tercatat melemah 115 poin dari Rp12.474 pada perdagangan akhir pekan lalu menjadi Rp12.589 per dolar AS. Pasar modal dunia pun mayoritas memerah. Indeks harga saham gabungan (IHSG) melemah 0,43% ke posisi 5.220 pada penutupan bursa kemarin.

"Salah satu yang paling diwaspadai adalah perkembangan di Yunani dimana ketika Perdana Menterinya mau diusulkan menjadi presiden ditolak oleh parlemen dan diyakini berdampak pada ekonomi Eropa yang masih lemah," tutur Gubernur BI Agus Martowardojo.

Dia mengatakan akibat krisis di Yunani itu, sebagian besar mata uang memang melemah. Hal ini disebabkan pasar berspekulasi Yunani akan dikeluarkan dari Zona Euro. Risiko itu kian meningkatkan permintaan terhadap dolar AS di samping perkembangan ekonomi Negeri Paman Sam yang membaik serta prospek kenaikan suku bunga acuan AS atau fed funds rate tahun depan.

Terlepas dari kondisi di Yunani, sejumlah ekonom menilai permintaan dolar dalam negeri pun masih besar. Pasalnya kebutuhan korporasi swasta untuk membayar utang dalam dolar di akhir tahun juga cukup tinggi dibandingkan dengan bulan-bulan sebelumnya.

Di samping itu, Agus ‎menambahkan, perlemahan mata uang ini juga dipicu oleh harga minyak yang kian terjungkal. Hingga perdagangan petang kemarin, harga minyak West Texas Intermediate (WTI) yang diperdagangkan di New York Mercantile Exchange (Nymex) melemah 1,27% ke level US$52,02 per barel.

Meski begitu, dia mengaku bahwa rupiah juga terpengaruh oleh data internal yang mengecewakan, yakni inflasi dan neraca perdagangan yang kembali defisit. Alhasil, akhir pekan lalu rupiah terdepresiasi paling dalam di antara negara-negara kawasan Asia Pasifik. Akhir pekan lalu, Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan defisit neraca perdagangan mencapai US$425 juta.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper