Bisnis.com, JAKARTA— Pengusaha di industri kimia menargetkan pertumbuhan sebesar 6,4% pada tahun ini. Direktur Eksekutif Federasi Industri Kimia Indonesia (FIKI) Suhat Miyarso mengatakan tantangan berat bagi pengusaha kembali dirasakan pada tahun ini.
“Tahun ini mungkin di bawah sedikit [dari realisasi pertumbuhan tahun lalu] mungkin sekitar 6,4%,” ucapnya, Kamis (29/1/2015).
Kondisi yang lebih berat dirasakan selama 2014 yang berujung kepada melesetnya target pertumbuhan dari 7% menjadi 6,5%. Hal ini terpengaruh depresiasi rupiah, kenaikan tarif listrik industri, dan kisruh upah buruh.
Pada 2015 secara umum iklim bisnis tetap dibayangi efek penguatan dolar AS terhadap rupiah. Tantangan lain berupa perubahan skema penghitungan tarif listrik dan merosotnya harga minyak mentah yang notabene bahan baku.
Sebagai contoh penurunan harga minyak memengaruhi harga petrokimia untuk bahan baku plastik, yakni propilena dan etilena. Ketika minyak di kisaran US$110 per barel, petrokimia ini dijual sekitar US$1.400 per ton.
Kini harga etilena dan propilena sekitar US$1.100 per ton dan berpotensi terus merosot, minimal US$900 per ton. Harga petrokimia yang dijual sekarang ini dihitung berdasarkan harga minyak US$70 - US$80 per barel.
"Biasanya kalau minyak turun harga produk petrokimia pun turun, tetapi ini tidak bisa serta merta karena industri punya stok untuk tiga bulan, stok yang dipakai sekarang dibeli saat minyak masih mahal," ucap Suhat.
Sementara itu terkait formula penghitungan listrik yang kini fluktuatif setiap bulan, tak bisa dipastikan menguntungkan industri atau tidak. Ketika tarif setrum turun tentu meringankan pengusaha karena biaya energi lebih efisien.
Kiprah FIKI mencakup seluruh rangkaian industri kimia, seperti produsen pupuk, semen, ban, petrokimia, pulp dan kertas, farmasi, dan lain-lain. Federasi ini baru saja mengukuhkan pengurus baru periode 2015 - 2019 diketuai Erwin Ciputra.