Bisnis.com, JAKARTA--Pengembangan kawasan industri petrokimia di Teluk Bintuni, Papua Barat, bisa menarik investasi miliaran dolar AS asalkan alokasi gas terjamin.
"Buat industri kita tidak hanya bicara gas yang available, tetapi juga affordable. Ini harus kita address bagaimana beri energi yang murah untuk industri dan masyarakat," kata Dirjen Basis Industri Manufaktur Kemenperin Harjanto, di Jakarta, Kamis (5/2/2015).
Keluhan suplai gas bukan hal baru yang dikemukakan investor yang berminat masuk ke Bintuni, sebut saja LG International dan PT Duta Firza yang bermÍnat bangun pabrik methanol senilai US$1,2 miliar. Minat investasi juga datang dari Ferrostaal Industrial Projects GmbH dan PT Chandra Asri Petrochemical Tbk bisa mencapai US$3 miliar.
Pengembangan kawasan industri berbasis petrokimia Teluk Bintuni diharapkan bisa mengikis ketergantungan impor petrokimia yang mencapai US$10 miliar per tahun. Asalkan tak ada kendala soal alokasi gas, proyek ini ditargetkan mulai beroperasi pada 2017 - 2019.
"Kalau Bintuni maju, perkembangan industri signifikan. Gas untuk pupuk sudah jauh-jauh hari dibicarakan, mereka masih pikir-pikir soal harga gas, sedangkan proyek petrokimia ya bagaimana bisa bangun hulunya yang selama ini defisit kalau gas tidak ada," ujar Harjanto.
Pelaku industri meminta harga gas diturunkan ke level US$4 - US$5 per MMBTU. Harga yang sekarang rerata berkisar US$10,2 per MMBTU dinilai tidak ekonomis bagi kegiatan produksi, khususnya di sektor besi dan baja, pupuk, petrokimia, dan semen.