Bisnis.com, JAKARTA--Wakil Sekretaris Jenderal Asosiasi Peritel Indonesia (Aprindo) Satria Hamid mengatakan dampak depresiasi rupiah memang tidak dirasakan saat ini karena barang yang dibeli masih menggunakan kurs dollar beberapa waktu yang lalu.
"Pelemahan rupiah dalam jangka panjang bisa berimbas pada biaya produksi barang. Bukan cuma barang impor, tetapi barang lokal yang masih tergantung pada bahan baku dari luar negeri," katanya kepada Bisnis, Selasa (3/3/2015).
Dia menambahkan meningkatnya biaya produksi tentu akan mengerek harga jual ritel modern kepada konsumen. Karena itu, dia meminta pemerintah untuk menanggulangi masalah fluktuasi nilai tukar rupiah untuk mendukung iklim usaha yang kondusif.
"Posisi peritel terhimpit. Di satu sisi kami ikut terdampak, di sisi lain kami tak bisa menaikkan harga begitu saja. Apalagi, saat ini persaingan di bisnis ritel sangat ketat. Peritel berusaha menawarkan harga jual dan layanan yang kompetitif," ujar Satria.
Juru Bicara PT Duta Intidaya Deden Wahyudiyanto mengatakan perusahaan tetap memberlakukan harga jual yang stabil di semua gerai. Pasalnya, pemegang merek Watsons Indonesia telah memiliki kontrak pembelian yang dilakukan beberapa waktu lampau.
"Meski sebagian besar tergolong produk impor, harga jual tidak mengalami kenaikan. Produk yang diimpor merupakan home brand merek Watsons yang didatangkan dari Hong Kong," ujarnya.
Dia menambahkan PT Duta Intidaya melakukan pembelian produk dalam jumlah besar yang berlangsung setiap 6 bulan hingga 1 tahun. Hal ini membuat harga barang yang dipasarkan di Watsons tidak terpengaruh dengan fluktuasi nilai tukar rupiah.
Selain mengimpor produk kecantikan dan kesehatan (beauty and healthcare) merek Watsons, Deden menuturkan perusahaan juga bekerja sama dengan berberapa pemasok merek dalam dan luar negeri."Khusus untuk produk dari mitra pemasok, harga jual barang disesuaikan dengan harga yang mereka tetapkan. Jika mereka menaikkan harga ya pasti kami akan ikuti," pungkasnya.