Bisnis.com, JAKARTA – Indonesia dianggap sangat layak menjadi negara tujuan destinasi wisata medis.
Ketua Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (Persi) Sutoto menyatakan rumah sakit di Indonesia sebenarnya tidak kalah dari negeri tetangga. Bahkan banyak yang sudah diakui dengan standar internasional.
“Indonesia sangat layak menjadi destinasi medical tourism. Kita ada 19 rumah sakit yang sudah diakui oleh badan akreditasi rumah sakit dunia yakni Joint Commission International,” kata dia kepada Bisnis, beberapa waktu lalu.
Menurutnya, produk layanan medis yang dijual di berbagai negara sebenarnya kita juga bisa jual oleh Indonesia.
Dia mencontohkan layanan orthopedic seperti ganti sendi yang dijual oleh negeri jiran juga sebenarnya sudah tersedia di banyak rumah sakit di Tanah Air.
“Rumah sakit yang bisa layanan seperti itu di Indonesia ada ratusan. Sebenarnya kita banyak yang bisa jual, operasi jantung by pass juga rumah sakit kita bagus-bagus,” ujarnya.
Ketua Komite Akreditasi Rumah Sakit ini menambahkan, secara kualitas Indonesia bisa diadu dengan rumah sakit lain, termasuk dalam hal pelayanan dan kelengkapan peralatan kesehatan.
Akan tetapi untuk menjadi suatu destinasi wisata medis tidak hanya bicara kualitas rumah sakit saja. Menurutnya ada aspek lain yang juga berpengaruh, seperti masalah tarif dan sarana pendukung seperti koneksi dengan pelaku biro perjalanan.
Harga pengobatan di Indonesia belum bisa kompetitif dibanding negara tetangga. Untuk skala Asia misalnya, biaya pengobatan di Malaysia dan India masih lebih murah. Faktor tingginya harga dipengaruhi oleh mahalnya pajak untuk peralatan maupun obat-obatan di Tanah Air.
Sementara untuk koneksi, menurut Sutoto perlu keterkaitan antara banyak lembaga seperti kementerian perhubungan, kementerian hukum dan HAM untuk imigrasi. Urusan orang yang sakit hendaknya dipermudah untuk pengurusan visa maupun penjemputan di bandara agar bisa mendapat penanganan cepat.
“Kalau orang sakit di Malaysia bebas visanya 90 hari, kalau di kita kan masih hanya 30 hari. Kemudian di sana ambulance bisa masuk ke bandara untuk jemput orang sakit, kalau di kita mesti urus izin dulu dan itu lama,” tuturnya.
Tak pelak kondisi ini membuat lebih banyak masyarakat Indonesia memilih berobat ke luar negeri. Seperti halnya warga Sumatera Utara, kerap lebih memilih berobat ke Malaysia daripada ke Jakarta.
Selain karena perongkosan lebih murah, akses lebih cepat dari bandara ke rumah sakit, juga karena kemudahan dalam pengurusan dokumen karena adanya konektivitas dengan biro perjalanan.
“Di sana semua sudah diurus biro perjalanan, mereka tidak bingung lagi mau cari rumah sakit, cari penginapan, bahkan hingga visa dan paspornya diurus. Jadi sebagian besar di sana medical check up sambil berpesiar, tidak hanya berobat tapi rekreasi,” katanya.
Faktor kunci ini yang menurut Sutoto juga belum dimiliki Indonesia. Dia menekankan, bicara wisata medis tidak cukup hanya mendorong keunggulan rumah sakit, tapi juga perlu pertimbangan soal cost, dan jaminan kemudahan.
Dia optimistis Indonesia dapat mengembangkan potensi besar yang dimilikinya. Menurutnya perlu kerjasama semua pihak tidak hanya Kementerian Kesehatan dan Kementeria Pariwisata serta pelaku usaha terkait.
“Perlu perhatian khusus dari pemerintah jika ingin mengembangkan potensi itu. Agar bisa go internasional bisa belajar dari Malaysia, di sana komandannya adalah Perdana Menteri langsung,” ujarnya.