Bisnis.com, JAKARTA -- Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro menyampaikan dampak stimulus moneter bank sentral Eropa (ECB) tidak sebesar manuver serupa yang dilakukan Amerika Serikat beberapa tahun lalu.
Menurutnya, ketika pelonggaran kuantitatif dilakukan the Federal Reserve mulai 2009, dunia sedang tidak mengalami kontraksi ekonomi. Ekonomi China, negara dengan produk domestik bruto (PDB) terbesar setelah Amerika Serikat, saat itu masih ekspansi.
Akibatnya, harga komoditas melesat luar biasa. Indonesia yang ekspornya mengandalkan komoditas kecipratan dampak. Neraca perdagangan 2011 surplus hampir US$24 miliar atau naik 50% dari tahun sebelumnya.
Saat ini, dampak quantitative easing ECB dan Bank of Japan (BoJ) tergeser oleh normalisasi kebijakan moneter the Fed yang menarik stimulus moneter sejak 2014 dan berencana menaikkan suku bunga dari tingkat ultrarendah 0,25%.
"Hari ini, walaupun ada guyuran dari Eropa, Jepang, ada istilahnya 'vacuum cleaner', AS menarik kembali dolarnya yang beredar di mana-mana. Jadi, tidak ada dampak seperti 2009-2011. Ya netral saja, dan yang paling kena adalah emerging economy," ujar Bambang, Rabu (13/5/2015).
Volatilitas pasar keuangan di negara berkembang tinggi di tengah perlambatan ekonomi Negeri Tirai Bambu yang menjatuhkan harga komoditas.