Bisnis.com, JAKARTA--Standar garis kemiskinan yang digunakan pemerintah dinilai sudah tak relevan dan tak faktual. Hal ini berujung pada upaya pengentasan kemiskinan yang tak maksimal.
Pengamat kebijakan publik dari Universitas Paramadina Wijayanto Samirin menilai selain standar terlalu rendah, pengukuran kemiskinan juga belum memasukkan aspek penting lainnya.
"Sedikit di atas garis kemiskinan hidupnya tetap susah. Jadi dinaikkan saja [standarnya] biar sesuai dengan tujuan akhir," katanya dalam seminar bertajuk 'Poverty in Asia,' Kamis (21/8/2014).
Kemarin Asian Development Bank (ADB) merevisi garis kemiskinan yang selama ini dipatok pada US$1,25 per orang menjadi US$1,5 per orang.
Kepala Ekonom ADB Guanghua Wan menuturkan standar itu tak relevan diterapkan di Asia seiring dengan pertumbuhan dan struktur konsumsi yang berkembang pesat.
"Angka US$1,25 juga tidak memasukkan elemen kerawanan sosial dan pangan, shock, dan resiko yang dihadapi masyarakat," katanya.
Padahal saat ini garis kemiskinan yang dipakai Badan Pusat Statistik (BPS) untuk mengukur tingkat kemiskinan adalah Rp302.735 per kapita per bulan. Jika hal itu dikonversikan ke dolar (kurs Rp11.700), jumlah itu hanya ada di kisaran US$1.