Kendati demikian, patut dicatat persoalan harga bawang merah bukanlah satu-satunya komoditas yang butuh perhatian intens baik jangka pendek maupun jangka panjang. Tengok saja di Kramat Jati, komoditas tumpah ruah dengan persoalannya masing-masing. Harga daging misalnya, dikabarkan mulai melonjak di sejumlah provinsi.
Lagi pula, Amran memang harus memastikan produksi di daerah-daerah sentra benar-benar masuk ke daerah-daerah konsumsi. Tapi rasanya berulang kali mengunjungi Kramat Jati untuk memantau harga bawang merah, Pak Menteri tampaknya sudah harus menyasar komoditas krusial lainnya.
Sudah menjadi hal biasa di komoditas bawang, ketika musim panen harga jatuh dan sebaliknya. Di sinilah peran pemerintah dibutuhkan. Jangan, ketika ada masalah lonjakan harga langsung diambil solusi jangka pendek yaitu impor, yang hanya akan menjadikan ‘candu’ bagi negeri ini.
Ironi ketika Indonesia menjadi salah satu negara yang memiliki daratan terbesar di dunia, tetapi masih harus mengimpor bawang hanya karena distribusi tak maksimal.
Coba tengok Amerika Serikat. Sebagai kiblat pengekspor gadget canggih, Negeri Paman Sam juga memiliki pertanian yang mumpuni. Padahal, kota metropolitan bertebaran di seluruh negara bagian AS. Namun, mereka tidak melupakan pentingnya kedaulatan pangan dalam negeri.
Produksi bawang merah pada tahun lalu 1,061 juta ton. Sementara itu, kebutuhan bawang merah nasional rata-rata mencapai 80.000 ton per bulan atau setara dengan 960.000 ton. Dengan kata lain, Indonesia sebetulnya surplus bawang setidaknya 100.000 ton.
Di sisi lain, Impor bawang merah dalam tiga tahun terakhir diestimasi berada di kisaran 70.000 ton per tahun.
Lagi-lagi, impor bawang merah dilakukan dalam beberapa tahun terakhir—tahun ini belum ada impor bawang—dengan alasan distribusi bawang lokal yang jelek di Tanah Air.
Semoga dengan masuknya Bulog yang langsung mengambil bawang dari petani dapat menjaga harga di tingkat petani tidak anjlok di sisi lain, harga di konsumen tidak melonjak, sehingga terjadi keseimbangan.