Bisnis.com, JAKARTA—Kementerian Agraria dan Tata Ruang/ Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) mengajukan konsep tata ruang dalam bentuk RTRW dan RDTR area Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi yang sebelumnya terpisah menjadi satu kesatuan.
Menteri ATR/BPN Ferry Mursyidan Baldan mengatakan, wilayah Jabodetabek sudah menjadi kesatuan yang saling mengikat. Tren yang muncul ialah masyarakat yang tinggal di pinggir Jakarta melakukan perpindahan bolak-balik untuk bekerja di Ibu Kota Negara.
Secara historis, hingga awal 1980-an perkembangan pemukiman di Jakarta mengarah ke selatan seperti Kebayoran Baru, Pondok Indah, dan Bintaro.
Untuk membatasi menjamurnya hunian di wilayah selatan yang berfungsi sebagai lokasi serapan air, Rencana Induk Jakarta tahun 1985 – 2005 menyatakan pembangunan hunian diarahkan ke timur dan barat. Sebaran pemukiman kemudian mencapai wilayah pinggir seperti Bekasi dan Tangerang.
Dalam perkembangan selanjutnya, kawasan selatan tetap menjadi pilihan dan meluber hingga wilayah Cinere, Depok, dan Cibubur.
Menurutnya, langkah awal memahami tata ruang Jabodetabek ialah mengubah pola pikir bahwa wilayah tersebut merupakan kesatuan, bukan lagi sekedar individu kota atau kabupaten.
Oleh karena itu, perlu adanya Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) dan Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) khusus yang mengaturnya secara terintegrasi.
Adapun payung hukum yang disiapkan ialah revisi dari Undang Undang no.26/2007 tentang Penataan Ruang. Bila peraturan sudah rampung, Kementerian ATR/BPN juga akan membuat Kantor Wilayah BPN Jabodetabek
“Kami ajukan revisi terbatas UU tata ruang [no.26/2007]. Kami katakan, RTRW ataupun RDTR di Jabodetabek akan sama sehingga jelas peruntukkan lahannya,” ujar Ferry setelah acara kuliah umum bertajuk Kebijakan Agraria dan Tata Ruang dalam Mendukung Keberlanjutan Pembangunan Perkotaan di Universitas Trisaksti, Jakarta, Kamis (22/10/2015).
Acara ini diselenggarakan dalam rangka Hari Agraria Nasional dan Tata Ruang (Hantaru) 2015 beserta Dies Natalis Universitas Trisaksi ke-50.
Sebagai informasi, RTRW kota/kabupaten yang biasa disebut RTRWK menjadi acuan bagi pemerintah daerah setempat dalam menerbitkan Izin Prinsip dan Izin Lokasi bagi masyarakat pengguna ruang.
Selanjutnya, komponen RDTR dan Rencana Tata Bangunan dan Lingkungan (RTBL) merupakan penjabaran lebih detil dari dokumen RTRWK yang berfungsi sebagai pedoman pemerintah daerah dalam menerbitkan Izin Mendirikan Bangunan (IMB).
Ferry menilai, saat ini perkotaan mengalami tiga masalah utama. Pertama, tidak memberikan ruang dan fasilitas yang nyaman bagi mobilitas penduduk dalam bentuk sarana transportasi.
Kedua, pengguna lahan perkotaan membangun pemahaman diri yang eksklusif. Sebagai contoh, dari koridor Semanggi sampai dengan Kuningan, setiap gedung memiliki pagar pemisah dan akses pintu sendiri sehingga menimbulkan titik-titik kemacetan. Pasalnya, kendaraan selalu berhenti saat ada mobil yang keluar atau masuk gedung.
Masalah eksklusifitas juga ditambah dengan problem ketiga, yakni kurangnya ruang sebagai kewajiban sosial. Jadi pengembangan gedung yang ada kurang memikirkan kebutuhan lebar jalan ataupun efek negatif lainnya yang timbul dari keberadaan sebuah bangunan properti.
Sebagai solusi, dalam revisi UU no.26/2007 maupun peraturan turunannya, Kementerian ATR/BPN mendorong penetapan sebuah RTRW atau RDTR suatu wilayah berlaku untuk 10 tahun ke depan dengan transportasi umum sebagai sarana mobilitas utama masyarakat.
Kemudian, setiap bangunan hanya boleh memakai 60% - 70% dari total luas lahan dan selebihnya menjadi ruang terbuka. Khusus properti komersial seperti mal dan kantor, komposisi gedung dan area terbuka berbanding 50:50.
Untuk merealisasikan pembangunan perkotaan yang ideal, pemerintah juga akan menambah wewenang Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) BPN untuk mencabut izin pengembangan properti yang tidak sesuai konsep tata ruang suatu wilayah.
Fenomena yang terjadi saat ini ialah, PPNS di daerah diusulkan oleh gubernur atau kepala daerah, tetapi mengawasi kebijakan pemerintah daerah itu sendiri. Akibatnya, timbul beberapa kasus peruntukkan lahan yang melenceng dari RDTR.
Pada kesempatan yang sama, Ahli Planologi Universitas Trisakti Yayat Supriyatna menyampaikan, pada kota-kota yang sudah aglumerasi, yakni menyatu secara fungsional, maka desain tata ruangnya perlu disatupadukan.
Menurutnya, tata ruang Jabodetabek memang sebaiknya berada dalam satu otoritas seperti yang diatur dalam Peraturan Presiden no.54/2008 tentang Penataan Ruang Kawasan Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, Puncak, Cianjur yang saat ini sedang direvisi.
Dia juga mengatakan, perkotaan yang baik terbentuk dari adanya sistem transportasi umum yang kondusif. Adanya pengaturan tata ruang Jabodetabek secara terpadu salah satunya berfungsi membenahi moda mobilitas tersebut.