Bisnis.com, JAKARTA - The People's Bank of China (PBoC) kembali memangkas nilai tukar yuan sebanyak 0,15% menjadi 6,4236 per dolar Amerika Serikat.
Sebelumnya, pada Agustus lalu, nilai yuan atau renminbi itu sudah diturunkan hingga 2% terhadap dolar AS. Hal itu dilakukan China untuk memperkuat daya saing ekspor.
Gubernur Bank Indonesia Agus D.W Martowardojo mengatakan devaluasi yuan tersebut terjadi karena adanya kekhawatiran Bank Sentral China terhadap mata uang yuan tersebut.
"Tapi kalau terjadi lagi pemangkasan PBoC, jadi itu yang sudah diperkirakan oleh pasar," ujarnya di Gedung BI, Kamis (10/12/2015).
Dia menuturkan secara umum mata uang dolar bila dibandingkan dengan mata uang negara utama yang besar seperti China cenderung melemah.
Namun, bila dibandingkan dengan mata uang negara berkembang, kurs dolar cenderung mengalami penguatan.
Menurutnya, kondisi pasar keuangan ini masih akan terjadi posisi risk on dan risk off sehingga terdapat kecenderungan dana mengalir dari negara berkembang menuju negara maju.
"Ini sifatnya sementara kita masih yakin bahwa Indonesia adalah satu negara yang berkomitmen untuk reform. Ini adalah sesuatu yang menjadi salah satu contoh negara, nantinya akan jadi pilihan bagi investor tapi saat ini masih akan ada reblancing dari negara berkembang menuju ke negara besar," tutur Agus.