Bisnis.com, BITUNG - Sejak Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti mengeluarkan kebijakan pelarangan alih muat kapal ikan di tengah laut, industri pengolahan perikanan di Bitung mulai kesulitan. Hal itu diperparah lagi dengan kebijakan pelarangan kapal ikan esk asing untuk beroperasi di perairan Indonesia.
Penderitaan industri pengolahan ikan di Bitung tersebut diharapkan segera berakhir setelah Wakil Presiden Jusuf Kalla berkunjung ke lokasi tersebut pada pekan lalu.
Pada saat kunjungan kerja Wakil Presiden RI Jusuf Kalla yang awalnya hanya di Provinsi Maluku saja, tiba-tiba ada informasi, wapres akan bertolak ke Bitung, Sulawesi Utara.
Kunjungan itu untuk meninjau industri gudang pendingin, industri pengalengan, dan situasi nelayan di Pelabuhan Perikanan Samudra Bitung pada Jumat (18/3/2016).
Selama kunjungan di Maluku, banyak menyangkut soal industri perikanan, maka tak heran jika Jusuf Kalla (JK) turut melakukan peninjauan di kota tersebut untuk melihat situasi yang terjadi.
Saya teringat peristiwa tahun lalu. Saat sejumlah nelayan yang tergabung dalam Asosiasi Nelayan Pajeko (Asneko) berunjuk rasa di halaman Kantor Gubernur Sulawesi Utara.
Bahkan, berkali-kali Wakil Gubernur Sulut kala itu, Djouhari Kansil meminta agar pemerintah pusat mencabut larangan alih muat kapal di tengah laut atau transshipment untuk nelayan Sulawesi Utara karena telah menyebabkan seribu nelayan tidak melaut dan menjadi pengangguran.
Setibanya di Bitung, saya cukup kaget ketika mendengar ada 10.800 karyawan yang menganggur akibat matinya industri pengolahan ikan dan ada 3.200 anak buah kapal (ABK) dirumahkan.
Lebih aneh lagi ketika mendengar pelaku industri pengolahan ikan di Bitung telah mendatangkan ikan dari Muara Baru, Jakarta dan juga sebagian lagi impor. Apa benar ikan di Sulut sudah habis, sampai-sampai harus mendatangkan dari wilayah lain.
Data dinas Kelautan dan Perikanan Sulawesi Utara menunjukkan jumlah tangkapan ikan sepanjang 2015 memang ada penurunan atau bisa dibilang anjlok 59,38%. Pasalnya, jumlah pendaratan ikan pada 2014 mencapai 111.315,53 ton, sedangkan pada tahun lalu hanya 45.208,52 ton.
Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Sulawesi Utara Ronald Sorongan menampik jika ikan di laut minim sehingga jumlah pendaratan ikan anjlok drastis.
Dia menyebutkan ada 1.430 buah kapal yang ada di Pelabuhan Perikanan Samudra Bitung yang tidak melaut. Dari jumlah itu, sebanyak 750 unit tidak melaut akibat izin lama keluar dari pemerintah pusat. Sementara untuk kapal eks asing ada 152 kapal yang berpangkalan di Bitung yang semuanya juga tidak beroperasi.
Akibat kondisi itu, produksi industri pengolahan ikan di Sulut terjerembab sangat dalam. Kepala Dinas Perindustrian dan Perdagangan Sulawesi Utara Jenny Karaouw menyebutkan, produksi industri pengolahan anjlok 80% dari kondisi normal. Padahal, pada tahun lalu, industri pengolahan ikan di Sulut masih terkontraksi dengan penurunan 30%.
“Akibatnya, otomatis ekspor turun. Ini karena tidak adanya pasokan. Industri kurangi produksi, tapi tetap saja yang pengurangan tenaga kerja banyak. Nah yang pengurangan tenaga kerja ini yang demo,” katanya di sela-sela kunjungan Wapres.
MENYINKRONKAN REGULASI
Wapres Jusuf Kalla menilai dengan adanya 53 pabrik pengolahan ikan di Bitung dan adanya 1.500 kapal seharusnya tidak ada cerita pasokan berkurang. Untuk itu, pihaknya meminta agar pihak-pihak terkait untuk menyinkronkan aturan sehingga bisa dijalankan dengan benar.
“Bagaimana ini dijalankan keseluruhan sehingga tidak menghambat pendapatan negara, pendapatan daerah turun, pengangguran tinggi dan kemiskinan naik,” katanya.
JK pun meminta agar penyesuaian itu perlu dipercepat, misalnya soal pengukuran ulang kapal agar jangan sampai menghambat nelayan untuk melaut. “Jangan karena mengukurnya lambat mereka tidak melaut.”
Pada kesempatan terpisah, Ketua Umum Gabungan Pengusaha Perikanan Indonesia (Gappindo) Herwindo mengungkapkan, pihaknya berharap dari kunjungan Wapres Jusuf Kalla adalah memperbaiki dan meluruskan hal-hal yang mungkin kurang tepat dari perikanan dewasa ini.
“Ini terutama teman-teman dari Bitung karena mereka sudah kekurangan bahan baku. Jadi kami tinggal menunggu penyelesaiannya bagaimana, kan ini nggak bisa tutup terus. Kalau tutup begitu buka biaya sudah mahal sekali itu,” katanya.
Dia menilai pelestarian memang penting, tetapi hendaknya berjalan bersama dengan pemanfaatan ekonomi sehingga masyarakat makmur dan nelayan harus sejahtera. Oleh karena itu, dia berharap jika KKP memiliki solusi jangka pendek untuk menatasi masalah tersebut.
Menurutnya, di Bitung saat ini pelaku industri kekurangan stok bahan baku cakalang atau tuna yang selama ini tidak pernah terjadi. Padahal, kebutuhan per hari di Bitung mencapai 100 ton, tetapi saat ini hanya ada sekitar 20 ton.
“Pasokannya sudah berkurang. Pasokan kurang kan bisa berarti banyak kapal-kapal tidak melaut. Saya kira itu. Kalau dulu, Bitung kirim ikan ke Jakarta, sekarangt Jakarta kirim ke Bitung untuk bahan baku,” katanya.
Kepala Perwakilan Bank Indonesia Sulawesi Utara Peter Jacobs menilai, sektor perikanan di Bumi Nyiur Melambai sangat krusial untuk bisa memperoleh perhatian lebih dari pemerintah.
Dia menilai, jika potensi perikanan di provinsi itu sangat besar sehingga jika dimanfaatkan dengan baik maka bisa mendorong pertumbuhan ekonomi dan menciptakan lapangan pekerjaan.
Meskipun, dalam catatan Bisnis, kebijakan Menteri KKP Susi Pudjiastuti telah membuat industri pengolahan ikan di General Santos City dan Davao Filipina sepi. Namun, bagaimana dengan nasib ribuan karyawan industri pengolahan ikan domestik?
Di tengah-tengah Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) yang sudah terbuka sejak awal tahun, mampukah industri ini bertahan jika persoalan tersebut tidak segera diatasi. Bukankah pemerintah tengah menggalakkan penghiliran industri termasuk di sektor perikanan. ()