Bisnis.com, JAKARTA-Pengelola bioskop meminta UU Nomor 33 Tahun 2009 tentang Perfilman direvisi karena dinilai dapat menjadi penghambat pengembangan industri bioskop di Tanah Air, termasuk dalam hal menarik investasi asing.
Poin yang terutama dipermasalahkan adalah Pasal 32 yang menyatakan pelaku usaha pertunjukan film wajib mempertunjukkan film Indonesia sekurang-kurangnya 60% dari seluruh jam pertunjukan film yang dimilikinya selama 6 bulan berturut-turut.
Ketua Gabungan Pengusaha Bioskop Indonesia (GPBSI) Djonny Sjafrudin mengatakan pasal tersebut tidak konsisten dengan dikeluarkannya bioskop dari Daftar Negatif Investasi (DNI). Selain itu, pasal tersebut tidak mempertimbangkan kondisi film nasional yang sebagian besar kualitasnya masih dipertanyakan.
“Ini standar ganda. Harusnya kompetitif saja karena kita katanya sudah siap undang investor asing. Kalau mau dukung industri nasional mestinya ada bantuan akses pembiayaan dan pendidikan untuk pengusaha serta kru film kita,” ujarnya kepada Bisnis, baru-baru ini.
Revisi DNI untuk bioskop dilakukan pada Februari 2016, di mana keran investasi dibuka 100% bagi investor asing. Pemerintah meyakini langkah itu dapat mendorong perkembangan industri perfilman Indonesia, termasuk dengan meningkatkan jumlah serta sebaran layar bioskop.
Menurut data GPBSI, hingga Mei 2016 terdapat 1.175 layar bioskop di seluruh Indonesia atau tumbuh 6% dari periode yang sama tahun sebelumnya. Adapun pada akhir 2015 tercatat ada 1.111 layar atau naik 18% secara year-on-year. Sejak 2013 rata-rata jumlah layar bertambah 130 buah per tahun.