Bisnis.com, JAKARTA – Kalangan akademisi menilai putusan Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan sebagian gugatan terhadap Undang-undang (UU) No. 30/2009 tentang Ketenagalistrikan perlu dicermati lebih seksama.
Syamsir Abduh, Anggota Dewan Energi Nasional (DEN) yang juga Guru Besar Fakultas Teknik Elektro Universitas Trisakti, menilai amanat dari putusan MK itu harus dimaknai bahwa penyediaan tenaga listrik masih menjadi tanggung jawab negara.
Dengan demikian, keterlibatan swasta menjadi mitra pemerintah (government to business/G-to-B) dalam penyedian tenaga listrik yang andal dan berkualitas perlu diwujudkan.
“Keterlibatan swasta perlu diarahkan menjadi mitra pemerintah dalam hal penyediaan listrik yang andal,” ujar Syamsir dalam keterangannya, Selasa (20/12/2016).
Menurutnya, dalam rangka pemenuhan tenaga listrik diperlukan investasi dan teknologi yang sangat besar, sementara kemampuan keuangan negara saat ini terbatas.
Secara teoretis, privatisasi penyediaan listrik dapat menjadi solusi tetapi dengan koridor yang tepat. “Pengalaman menunjukkan dalam program percepatan pembangunan ketenagalistrikan tahap 1 dan 2 belum efektif, terbukti dengan banyaknya proyek yang mangkrak. Karena itu, perlu sinergi swasta dan pemerintah yang lebih terarah,” paparnya.
Syamsir menegaskan putusan MK tidak menghambat upaya pemerintah dalam memajukan kesejahteraan umum termasuk program 35.000 megawatt (MW). Dia menjabarkan putusan MK itu lebih menekankan pada kontrol negara harus kuat dalam hal penentuan harga jual listrik untuk kepentingan umum.
Poin yang krusial lebih difokuskan pada sinergi pemerintah, PLN, dan listrik swasta dalam penyediaan listrik yang andal. “Di sinilah peran pemerintah dalam mengatur ini agar well managed, well financed, well price,” katanya.
Heru Dewanto, Sekjen Masyarakat Ketenagalistrikan Indonesia (MKI), menjelaskan pemberitaan terkait putusan MK itu sempat menimbulkan kesimpangsiuran di kalangan pebisnis listrik swasta terutama independent power producer (IPP).
“Bagaimana dampaknya bagi praktek listrik swasta yang sudah atau akan berjalan di Tanah Air, ini yang membuat kesimpangsiuran,” ujarnya.
Menurut dia, di sinilah peran pemerintah terutama Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) untuk membuat keterangan teknis hukum yang rinci terhadap interpretasi keputusan MK itu.
“Tidak cukup berupa keterangan politis bahwa keputusan MK tidak berpengaruh, tanpa penjelasan teknis hukumnya,” papar Heru yang juga menjabat Direktur Utama PT Cirebon Energi Prasarana.
RESPONS PRESIDEN
Presiden Joko Widodo (Jokowi) menegaskan dirinya sangat menghargai keputusan dari MK. Namun, Jokowi menyatakan peranan swasta tetap dibutuhkan dalam rangka membangun infrastruktur ketenagalistrikan.
"Kita menghormati keputusan MK, tapi kita menyadari peran swasta dalam membangun infrastuktur, terutama pembangunan pembangkit listrik sangat diperlukan. Jadi ada yang dibangun swasta dan ada yang dibangun oleh PLN. Tapi semuanya kan dikelola dikuasai oleh PLN," kata Jokowi.
Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arcandra Tahar juga menilai MK tidak melarang swasta untuk menjual listrik langsung kepada masyarakat. Putusan MK tidak menyatakan bahwa menjual listrik kepada masyarakat adalah hak eksklusif PLN.
"Listrik swasta tidak dilarang. Tarif kan masih ditentukan negara, izin masih dari negara, jadi tidak bertentangan dengan putusan MK," kata Arcandra.
Berdasarkan data Kementerian ESDM, kapasitas terpasang pembangkit listrik di Indonesia per awal Desember 2016 mencapai 57.845 MW. Dari jumlah itu, PLN menguasai 70% atau 40.065 MW, disusul independent power producer (IPP) 21% atau 12.954 MW.
Juga, pembangkit listrik terintegrasi dengan kawasan industri (private power utility/PPU) sebesar 4,2% atau 2.434 MW, dan IO non-BBM 4% atau 2.392 MW.