Bisnis.com, JAKARTA - Asosiasi Logistik dan Forwarder mengeluhkan layanan kegiatan pemerikasaan fisik barang impor kategori jalur merah dan wajib karantina atau behandle di fasilitas New Priok Container Terminal One (NPCT1) lantaran belum terintegrasinya infrastruktur dan sistem IT layanan tersebut.
Ketua ALFI DKI Jakarta Widijanto mengatakan, asosiasinya menerima banyak keluhan dari perusahaan forwarder dan pemilik barang impor di pelabuhan Priok karena untuk kegiatan penarikan kontener impor yang wajib periksa fisik ataupun periksa karantina memakan waktu rata-rata lebih dari lima hari.
Padahal idealnya sesuai peraturan kepabeanan, kegiatan penarikan peti kemas impor behandle maksimal 1×24 jam. Hal itu, karena infrastruktur NPCT-1 belum layak secara fisik dan belum terintegrasi dengan sistem yang ada pada layanan peti kemas ekspor impor maupun kepabeanan.
Widijanto mengungkapkan,kegiatan behandle peti kemas impor di NPCT-1 selama ini ditangani dan ditempatkan di buffer area yang dikelola manajemen IPC Terminal Peti Kemas (IPC TPK)-anak usaha Pelindo II/IPC yang fasilitasnya berada di dekat common gate NPCT-1.
"Kami heran kok masih pakai sistem manual kalau barang impor mau dibehandle di NPCT-1. Dalam hal ini jika kami ingin behandle harus laporan manual ke manajemen NPCT-1 kemudian memberitahukan ke petugas IPC TPK, dan kemudian bayarnya di loket billing terminal penumpang pelabuhan Priok," ujarnya kepada Bisnis.com, Senin (4/9/2017).
Melihat kondisi itu, ALFI prihatin dan menyesalkan pemberian perizinan lokasi behande di NPCT-1 oleh Kantor Pelayanan Utama Bea dan Cukai Pelabuhan Tanjung Priok. "Infrastruksur dan sistemnya saja masih belum layak, kok dikasih izin untuk layanan behandle. Karenanya kami minta izin tersebut dievaluasi kembali," tegasnya.
Widijanto mengatakan, pemilik barang impor yang terkena kewajiban behandle di NPCT-1 selalu cemas jika barangnya harus dilakukan behandle di fasilitas itu sebab bakal menanggung biaya logistik yang lebih besar.
"Untuk narik kontener dari container yard NPCT-1 ke fasilitas behandle IPC TPK saja memakan waktu lima hari karena rumitnya prosedur dan belum ada sistem IT layanan satu atap," tuturnya.
Direktur NPCT-1, Suparjo mengakui adanya hambatan layanan behandle di NPCT-1 dalam periode Agustus 2017,namun saat ini pihaknya mengklaim sudah lancar.
Ketidaklancaran itu terjadi karena adanya kendala pada sistem informasi dan tehnologi (IT) yang belum terintegrasi antara NPCT-1 dan IPC TPK dalam kegiatan layanan behandle peti kemas impor itu sehingga pengajuan dokumen behandle oleh pemilik barang maupun forwarder yang mewakilinya dilakukan secara manual.
Selain itu,imbuhnya adanya lonjakan arus peti kemas di NPCT-1 sejak adanya ancaman aksi mogok pekerja di JICT pada awal Agustus 2017.
"Kami sempat menangani bongkar muat mencapai 80 ribu twentyfoot equivalent units (TEUs) dalam sebulan yakni di bulan Juli dan Agustus.Bahkan pernah mencapai produktivitas 25.000 TEUs dalam seminggu,"ujarnya dikonfirmasi Bisnis, Senin (4/9/2017).(K1)