Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Author

Arif Budisusilo

Direktur Pemberitaan Bisnis Indonesia

Bergabung dengan redaksi Bisnis Indonesia pada 1996. Menulis isu ekonomi makro dan entrepreneurship. Belakangan memberi perhatian pada perkembangan media dan ekonomi digital. Twitter @absusilo

Lihat artikel saya lainnya

Ngobrol Ekonomi: Pecah Telor IHSG

Melihat ekonomi dari berbagai sudut pandang akan memberi ruang bernafas lebih lega lagi. Tak perlu resah berlebihan. Nah, bagaimana menurut Anda?

Apabila dapat bersuara, “Banteng Wulung” di depan gedung Bursa Efek Indonesia mungkin akan banyak melenguh, bukan mengeluh. Apa pasal? Indeks saham mencetak rekor baru, tembus di level 6.025, Rabu (25/10) lalu. Ini adalah sejarah baru bagi pasar modal Indonesia.

Memang, seperti biasa, investor profit taking alias ambil untung pada hari berikutnya, Kamis (26/10). IHSG terkena imbas profit taking, meski sempat menembus level intraday tertinggi, yakni 6.042,45, berakhir pada level 5.995,85 saat perdagangan ditutup.

Sayangnya, si “Banteng Wulung” cuma diam, tak turut merayakan sejarah baru itu. Sebab ia hanyalah patung.

Banteng (bull) adalah simbol pasar yang kuat. Maka, para pelaku pasar menyebut bullish, untuk menganalogikan pasar yang cenderung menguat.

Banyak investor yang mungkin menyesal, nggak masuk pasar dari kemarin-kemarin, saat indeks masih jauh di bawah 6.000. Kan lumayan cuan.

Tapi, mungkin tak banyak yang menyangka suasana bullish akan terjadi, mengingat hampir saban hari kita dicekoki aneka persepsi bahwa ekonomi lesu darah, daya beli turun, dan aneka persepsi dan perspektif yang tidak memberi harapan. Hujan persepsi itu sudah berkembang sejak awal tahun ini, dan memuncak pada saat Lebaran lalu.

Fortunately, gambaran di pasar finansial memberikan warna yang berbeda. Lebih mencengangkan lagi, pencapaian IHSG itu terjadi justru di saat investor asing pulang kampung. Investor asing tercatat net sell sebesar Rp18,4 triliun sepanjang tahun ini.

Itu berarti, IHSG pecah rekor dengan mesin utama dari kocek investor domestik.

Belakangan, investor asing memang seakan mundur teratur. Ini mungkin ada hubungannya, dengan kenaikan Indeks Dow, yang terus menerus pecah rekor, melampaui level 23.000.

Indeks saham Jepang juga naik spartan, setelah Abenomics kembali menjadi pijakan Tokyo, setelah Perdana Menteri Sinzho Abe terpilih kembali. Akibatnya, indeks Nikkei 225 reli selama 16 hari berturut-turut dan membukukan penguatan beruntun terpanjang sepanjang sejarah. Indeks Nikkei 225 melampuai level 21.696, tertinggi sejak Juli 1996. 

Di Jakarta, rekor pecah telur IHSG di level 6.000 patut dirayakan. Apalagi, IHSG telah menguat lebih dari 13% sepanjang tahun ini. Dan jangan lupa, IHSG juga telah menorehkan kinerja terbaiknya di kawasan.

***

Dulu, mungkin banyak orang akan bilang ini gejala anomali. Ketika investor portofolio asing  pamitan dari bursa Indonesia, kok IHSG malah naik. Ternyata, memang ada mesin penggerak, yakni uang para investor domestik.

Bagaimanapun, ini adalah simbol kepercayaan kepada pasar modal Indonesia, dan pemerintah Indonesia.

Kalau masyarakat domestik tidak percaya dengan pasar modal sendiri, tentu kaburnya investor asing akan membuat IHSG loyo karena investor domestik tak bertenaga. Ternyata, tenaga investor domestik cukup kuat menggantikan investor asing yang undur diri.

Lalu, kalau orang  tidak percaya dengan perbankan Indonesia, tentu akan memilih menarik simpanan deposito dan menaruh uang di bawah bantal, wong suku bunga cenderung lebih rendah dibandingkan era-era di masa lalu.

Tengok saja data Otoritas Jasa Keuangan, di mana pertumbuhan deposito mencapai 10,84%, melampaui pertumbuhan kredit yang hanya 8,25% menjadi Rp4.448 triliun. Padahal, suku bunga deposito semua tenor rata-rata sudah turun ke level 6% atau lebih rendah.

Data itu saja segera memicu pandangan spekulatif. Ada anggapan, simpanan naik lantaran orang nggak mau berusaha atau membelanjakan uangnya.  Ada yang bilang, level worry meningkat sejak Pilkada DKI Jakarta lalu, dan lebih khawatir dengan Pilpres 2019 nanti, sehingga orang lebih memilih nabung uangnya, untuk berjaga-jaga. Mungkin sebagian asumsi itu ada benarnya, namun saya  yakin tidak seluruhnya benar.

Lalu ada pula analis yang bilang, kenaikan IHSG ini berkat tax amnesty, yang membuat investasi di saham menjadi pilihan untuk alokasi uang yang telah dibawa pulang ke Indonesia.

Di luar itu, saya kira, ada banyak faktor lainnya yang perlu diuji lebih lanjut. Ini beriringan dengan perubahan perilaku masyarakat dalam membelanjakan uangnya.

Di kalangan generasi “now”, perilaku menabung alias saving maupun perilaku investasi tampaknya juga mulai tumbuh dan menguat.

Juga ada terobosan Tito Sulistio, Dirut BEI, yang terbilang agresif. Sejak tahun lalu, gerakan “Yuk Nabung Saham” dilakukan secara masif. Tito juga cukup kreatif dengan mengajak stakeholders dari berbagai latar belakang, untuk melakukan seremoni pembukaan perdagangan hampir tiap hari.

Biasanya, pembukaan itu disambung diskusi dengan beberapa kalangan, termasuk pelajar dan mahasiswa, untuk ‘dikompori’ menjadi investor pemula.

Saya menduga, sedikit banyak gerakan itu telah memberi dampak. Ini tampaknya sejalan dengan harapan agar bangsa ini lebih produktif ketimbang konsumtif. Tentu uang yang ditabung atau diinvestasikan itu tidak menganggur.

Sekadar catatan saja, tahun ini banyak perusahaan melantai di bursa, untuk mencari dana publik guna membiayai ekspansi mereka. Artinya, uang yang ditanamkan di bursa itu akan menggerakkan aktivitas bisnis lebih lanjut.

Hingga 25 Oktober, tercatat 27 perusahaan telah menjual sahamnya di lantai bursa. Ini jauh lebih banyak dibandingkan tahun 2016 yang hanya 14 perusahaan.

Yang memberi warna lain, banyak di antara perusahaan itu adalah perusahaan kecil. Barangkali mereka terprovokasi seruan Tito Sulistio: jangan menunggu besar untuk masuk bursa. "Bukan karena sudah besar kita go public, tapi karena IPO kita jadi besar," kata Tito dalam beberapa kesempatan.

Singkatnya, apapun faktor yang melingkupinya, fakta tidak bisa dibantah. IHSG naik terus akhir-akhir ini, dan menembus rekor baru bersejarah.

***

Apakah pertanda bullish di pasar modal ini akan terus berlanjut? Kita lihat saja. Kalau dilihat sepotong-sepotong, memang banyak sinyal yang membingungkan. Ada banyak mixed signal, kata para analis ekonomi makro.

Yang jelas, sejumlah perusahaan ritel, terutama di luar kategori fast moving consumer goods (FMCG), mulai lempar handuk. Mereka menutup gerai tokonya. Ini umumnya adalah kelompok penjual produk fesyen, produk terkait gaya hidup maupun produk elektronik.

Mereka yang menutup gerai itu sebagian hendak bergeser ke layanan toko berbasis online. Sekadar contoh, baru-baru ini Lotus menyatakan menghentikan operasi tokonya, begitu pula Debenhams. Alasan manajemen, mereka akan mengikuti perubahan perilaku millennials, dan bergerak ke layanan online.

Kalau saya analogikan, ini mirip langkah The Wall Street Journal, koran bisnis ternama, yang “menutup gerai” koran cetak untuk pasar Asia dan Eropa, dan fokus ke layanan berbasis online.  Ini adalah proses perubahan yang disruptif. Bahkan dengan kecepatan yang di luar dugaan.

Namun sebaliknya, perusahaan ritel yang jualan produk FMCG tampaknya justru survive dan tumbuh. Sebutlah Alfamart, yang malah akan menerapkan pola “hybrid”, mengawinkan toko konvensional dengan kanal jualan online.

Data individu mungkin bisa dipersoalkan. Sebab ada yang naik, ada yang turun. Ada yang pingsan, ada yang siuman. Namun, secara agregat, sebenarnya banyak perusahaan membukukan performa lumayan, bahkan outstanding. Itu terlihat dari laporan keuangan hingga September tahun ini.

Tak dipungkiri, semua bank BUMN membukukan kenaikan laba yang maknyus. Contohnya BRI dengan kenaikan laba bersih dari Rp18,9 triliun menjadi Rp20,5 triliun. Laba bersih Bank Mandiri naik dari Rp12 triliun menjadi Rp15,07 triliun, lalu BNI dari Rp7,72 triliun menjadi Rp10,16 triliun. Laba bersih BTN juga melonjak dari Rp1,6 triliun menjadi Rp2,01 triliun.

Perusahaan konstruksi juga panen untung dari proyek infrastruktur yang marak. Sebut saja laba bersih Waskita Karya yang naik dari Rp1,09 triliun menjadi Rp2,57 triliun. Perusahaan properti, seperti BSD juga membukukan kenaikan signifikan dari Rp1,16 triliun menjadi Rp2,30 triliun.

Perusahaan tambang PT Bukit Asam, yang mengalami lonjakan laba bersih dari Rp1,05 triliun menjadi Rp2,62 triliun.

Laba bersih PT Telkom juga melonjak dari Rp14,7 triliun menjadi Rp17,9 triliun. Kinerja PT Telkom itu “sesuatu banget”. Anda tentu tahu, Telkom adalah perusahaan yang menyediakan layanan komunikasi yang menunjang ekonomi digital.

Maka, apabila BEI pun kini memberi ruang yang lebar untuk pelaku ekonomi digital agar listing di lantai bursa, menjadi masuk akal. Barangkali ini akan menjadi mesin bullish lainnya ke depan.

Contoh yang sudah ada adalah PT Kioson Komersial Tbk. (KIOS). Perusahaan start-up itu efektif listing di BEI pada 5 Oktober 2017. Uniknya, belum genap satu hari di BEI, KIOS terkena autoreject karena harga melonjak 50% menjadi Rp450 per lembar saham. Setiap hari, saham KIOS selalu bertumbuh di atas 20%.

Ini memberi tanda lainnya, ekonomi digital tengah menemukan momentumnya. Terlebih, ia dikelola oleh tangan generasi “now” yang kreatif. Ini adalah perspektif bisnis yang baru lagi.

Maka, melihat ekonomi dari berbagai sudut pandang akan memberi ruang bernafas lebih lega lagi. Tak perlu resah berlebihan. Nah, bagaimana menurut Anda? (*)

Sumber: Bisnis Indonesia edisi 27 Oktober 2017, hal 1, judul asli: Pecah Telur IHSG


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Penulis : Arif Budisusilo
Editor : News Editor
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper