Bisnis.com, JAKARTA - Indonesia harus menambah jumlah armada penangkapan ikan berukuran besar untuk memanfaatkan kuota tangkapan di Samudra Pasifik dan Samudra Hindia.
Saat ini, tidak ada kapal longline Indonesia yang beroperasi di Samudra Pasifik, padahal Indonesia memiliki kuota tuna mata besar (big eye) longline sebanyak 5.889 ton tahun ini di Western and Central Pacific Fisheries Commission (WCPFC). Absennya kapal longline Indonesia terjadi sejak dua tahun lalu, saat kapal buatan luar negeri dilarang beroperasi oleh pemerintah.
Sementara itu, pemanfaatan kuota penangkapan tuna sirip biru selatan di Samudra Hindia di bawah catch limit dalam 2 tahun terakhir. Dari kuota sebanyak 750 ton di Committee of The Commission for the Conservation of Southern Bluefin Tuna (CCSBT), armada Indonesia hanya sanggup menangkap 600,6 ton tahun lalu. Bahkan sepanjang Januari-September tahun ini, Indonesia hanya merealisasikan tangkapan 288 ton.
Rektor Institut Pertanian Bogor (IPB) Arif Satria mengestimasi setidaknya butuh kapal penangkap setara 15.704 gros ton untuk menggarap kuota di WCPFC. Dengan asumsi setiap kapal berukuran 100 GT, maka dibutuhkan sekitar 150 armada.
Itu belum termasuk tambahan kapal untuk memanfaatkan potential un-catch sebanyak 37.858 ton per tahun di the Indian Ocean Tuna Commision (IOTC) atau setara 13.565 GT.
"Hanya, investasi siapa yang akan bisa didorong? Siapa yang akan berinvestasi untuk memanfaatkan Pasifik?" kata Arif, Senin (20/11/2017).
Hanya, lanjut dia, investasi pengadaan kapal oleh swasta terganjal aturan alih muatan di tengah laut alias transhipment yang kurang kondusif bagi pengangkutan hasil tangkapan. Menurut mantan staf khusus Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti itu, perlu regulasi baru untuk efisiensi pengangkutan dari laut lepas ke wilayah pengelolaan perikanan (WPP) RI.
"Kalau bisa memanfaatkan [kuota], itu bisa menambah daya ekonomi kita. Dan karena tuna diekspor, itu bisa menambah devisa," tutur Arif.