Bisnis.com, JAKARTA - Sekjen Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Ernovian G. Ismy mengatakan bahwa tantangan utama dalam mendongkrak pertumbuhan manufaktur adalah memperbaiki lemahnya sinergi antarlembaga pemerintah maupun antarpelaku usaha.
Menurutnya, sinergi antarpemerintah bisa dilakukan mulai dari penerapan kebijakan impor yang tak serampangan hingga subsidi energi, agar daya saing pelaku usaha nasional menjadi lebih baik. Tanpa adanya sinergi yang kuat, lanjutnya, industri manufaktur nasional sulit unjuk gigi dan bersaing di tingkat global dan regional.
Dalam konteks pertekstilan, kata Ernovian, terdapat dua tantangan utama untuk meningkatkan pertumbuhan yakni produksi dan distribusi. Pada sisi produksi, jelasnya, terdapat bahan baku jenis tertentu yang belum bisa diproduksi sehingga tidak masalah jika diimpor. Namun, tidak semua bahan pertekstilan bisa diimpor karena sebagian besar telah dapat dipenuhi di dalam negeri.
Kehadiran Pusat Logistik Berikat (PLB), menurut dia, salah satunya berfungsi untuk mengawasi impor bahan baku. “Namun, pola produksi masih tidak tersistem dengan baik saat ini,” paparnya, kepada Bisnis.
Dari sisi penjualan, biaya produksi di industri hulu terbilang tinggi sehingga menyebabkan harga selanjutnya sulit diturunkan. Alhasil, impor barang jadi menjadi pilihan, padahal seharusnya pemerintah mengawasi dengan baik. Produksi dalam negeri seharusnya wajib diutamakan.
Dia mengklaim, saat ini hanya terdapat 31 pelaku industri hulu tekstil, sedangkan pelaku usaha pada bagian tengah sebanyak 1.600 buah. Adapun pada sektor hilir sebanyak 3.000 pelaku usaha. Pengawasan jenis bahan baku, tegasnya, sangat penting untuk menjaga kelangsungan rantai pasok pelaku usaha tekstil.
“Setelah itu, baru kita ngomong transportasi, logistik dan gudang. Tinggal lihat bagaimana daya saing kita,” tambahnya.
Dia memprediksi bahwa pertumbuhan sektor pertekstilan pada tahun ini akan bergerak stagnan. Alasannya, untuk sementara ini belum ada pasar ekspor baru. Di pasar lokal pun, menurutnya, pertumbuhan terus menurun karena harga dari produsen lokal yang kelewat tidak kompetitif.
“Kalau masih tumbuh pun bakal tipis sekali. Inilah yang saya maksud butuh harmonisasi, butuh sinergi pemerintah dan pelaku usaha, kita bicara Indonesia. Kami tidak menentang impor. Impor tinggi maka neraca perdagangan negatif,” imbuhnya.
Ketua Asosiasi Industri Perlampuan Listrik Indonesia (Aperlindo) John Manoppo mengatakan, tantangan terbesar di sektor perlampuan nasional saat ini adalah kemauan pemerintah bersinergi dengan industri perlampuan dari dalam negeri untuk membendung banjirnya produk lampu impor.
Menurutnya, penjualan lampu LED alias light emmitting diode dari produsen lokal pada tahun ini diprediksi stagnan. Jika tidak mengubah strategi pemasaran, pangsa lampu LED produsen lokal diprediksi stagnan dengan kecenderungan menurun.
John menuturkan, kebutuhan lampu di pasar domestik sangat besar tetapi persaingan dengan produk impor juga sangat ketat. Dia menyebutkan, pasar lampu LED pada tahun ini diprediksi tumbuh 20%—30% tetapi hanya sepertiga pasar yang mampu dipenuhi oleh pemain lokal.