Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Kepatuhan Mandatori Biodiesel Jadi Persoalan

Tingkat kepatuhan penggunaan minyak kelapa sawit untuk biodiesel 20% (B20) yang masih sangat rendah, menjadi salah satu persoalan besar yang menggelayuti kebijakan mandatori biodiesel.
Ilustrasi biodiesel/Reuters
Ilustrasi biodiesel/Reuters

Bisnis.com, JAKARTA — Tingkat kepatuhan penggunaan minyak kelapa sawit untuk biodiesel 20% (B20) yang masih sangat rendah, menjadi salah satu persoalan besar yang menggelayuti kebijakan mandatori biodiesel.

Wakil Ketua Umum III Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Togar Sitanggang mengatakan, rendahnya serapan biodiesel dalam negeri salah satunya disebabkan oleh banyaknya pihak yang belum menggunakan bahan bakar campuran minyak kelapa sawit tersebut. Padahal, ketentuan penggunaan biodiesel B20  tertuang dalam Permen Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) No 12/2015.

“Di tengah ekspor minyak kelapa sawit (CPO) kita yang mulai terbatas, konsumsi dalam negeri kita malah tidak mendukung. Mandatori biodiesel 20% banyak yang tidak dipatuhi,” ujarnya, Minggu (15/7/2018).

Seperti diketahui, Permen ESDM tersebut mengatur tentang tahapan kewajiban minimal pemanfaatan biodiesel sebagai campuran bahan bakar minyak. Peraturan tersebut meminta kalangan usaha mikro, perikanan, pertanian, transportasi, transportasi non public service obligation (PSO) atau penugasan, pelayanan umum, industri, dan komersial wajibmenggunakan biodiesel B20 pada Januari 2016.

Masih dalam aturan tersebut, kewajiban penggunaan biodiesel tersebut kadarnya ditingkatkan menjadi 30% atau B30 pada Januari 2020. Sementara itu, di sektor pembangkit listrik wajib menerapkan B25 pada April 2015 dan wajib B30 pada Januari 2016.

Namun, Togar mengatakan, aturan tersebut tidak dijalankan sepenuhnya. Dia mencontohkan para pengusaha kendaraan berat yang masih enggan mengunakan biodiesel 20%. Padahal menurutnya, dengan adanya kepatuhan dari berbagai sektor yang diatur dalam mandatori tersebut, rendahnya harga CPO di pasar global dapat terkatrol oleh permintaan dalam negeri.

Di sisi lain, dengan tingkat kepatuhan mandatori yang tinggi. dia menilai pungutan ekspor minyak kelapa sawit untuk pengembangan biofuel yang ditarik oleh  Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDP-KS) tidak mubazir.

Seperti diketahui, sejak 2015, perusahaan yang mengekspor minyak sawit mentah diwajibkan menyetor pungutan dengan besaran US$50 per satu ton minyak sawit. Kebijakan tersebut diatur melalui Undang-Undang (UU) No. 39 Pasal 93 ayat (3).

Di sisi lain, Wakil Ketua Asosiasi Pengusaha Truk Indonesia (Aptrindo) Kyatmaja Lookman mengatakan, rendahnya penggunaan biodiesel B20 salah satunya disebabkan oleh spesifikasi kendaraan yang tidak cocok dengan bahan bakar campuran tersebut. Pemaksaan penggunaan bahan bakar tersebut, lanjutnya, hanya akan berdampak pada negatif kepada para pelaku usaha yang diatur  dalam mandatori tersebut.

“Kami akui penggunaan biodiesel ini rendah. Selain karena beberapa waktu lalu harga solar turun dan lebih rendah dari biodiesel, spesifikasi kendaraan di Indonesia ini sulit untuk konsumsi B20,” ujarnya.

Pasalnya, menurut Kyatmaja tingkat toleransi kendaraan berat yang ada di Indonesia rata-rata hanya dapat menggunakan biodiesel 7% (B7). Penggunaan biodiesel di atas 7%, lanjutnya, denderung menciptakan lapisan jelly di mesin, lantaran tingginya kandungan lemak produk tersebut.

Alhasil, kendaraan akan lebih boros dalam mengkonsumsi bahan bakar. Selain itu, kendaraan akan sering mengalami kehilangan tenaga saat dioperasikan. Kondisi itu, dianggapnya menganggu produktivitas pelaku usaha terkait.

Kyatmaja menyatakan, situasi akan menjadi semakin rumit ketika pemerintah mulai mengkaji mandatori penggunaan biodiesel B30 dan perluasan penggunaan B20 ke bahan bakar minyak non-PSO. Sebab, hingga saat ini, kendaraan yang diimpor ke Indonesia masih belum dapat menyesuaikan bahan bakar campuran dalam kadar yang lebih tinggi dari 20%.

“Pemerintah jangan hanya memperhatikan satu pihak saja. Kami dari pelaku usaha lain, seperti pengusaha truk dan logistik ini akan lebih terpukul, karena biaya operasional akan membengkak,” ujarnya.

Seperti diberitakan Bisnis sebelumnya (13/7), pemerintah tengah mengebut  pembahasan penggunaan minya kelapa sawit untuk biodiesel  B.30. Dalam hal ini pemerintah mengklaim penggunaan biodiesel yang lebih tinggi diharapkan dapat menyelesaikan persoalan kelebihan pasokan di dalam negeri. 

Kendati demikian Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi Kementrian Energi dan Sumber Daya Mineral Rida Mulyana mengatakan penggunaan biodiesel 30%masih dalam kajian. Untuk itu, dalam waktu dekat pemerintah baru akan membahas mengenai perluasan penggunaan biodiesel 20%.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper