Bisnis.com, JAKARTA — Nasib PT Merpati Nusantara Airlines (Persero) berada di ujung tanduk setelah pemerintah menyatakan urung memberikan kucuran dana segar yang dianggap membebani negara. Kini, penyelesaian kewajiban Merpati sebesar lebih dari Rp10 triliun masih menjadi tanda tanya.
Kondisi keuangan Merpati menjadi topik headline koran cetak Bisnis Indonesia edisi Selasa (17/7/2018). Berikut laporannya.
PT Perusahaan Pengelola Aset (Persero) mencatat, kewajiban atau utang yang dimiliki oleh PT Merpati Nusantara Airlines (MNA) lebih besar dibandingkan dengan aset yang dimiliki sampai dengan akhir Desember 2017.
Merpati memiliki kewajiban hingga Rp10,72 triliun. Dengan aset hanya Rp1,21 triliun, posisi ekuitas maskapai pelat merah itu tercatat minus Rp9,51 triliun per 31 Desember 2017.
Deputi Bidang Restrukturisasi dan Pengembangan Usaha Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Aloysius Kiik Ro menjelaskan bahwa Menteri Keuangan Sri Mulyani dan Menteri BUMN Rini Soemarno menyatakan tidak akan masuk ke dalam restrukturisasi Merpati. Artinya, pemerintah tidak akan mengucurkan dana untuk proses tersebut.
“Siapa saja yang mau mengambil MNA silakan tetapi tidak memberikan beban baru atau penyertaan modal negara yang dapat membebani Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara ,” ujar Aloysius di Jakarta, Senin (16/7/2018).
Aloysius menyingung keputusan hasil komite privatisasi, pada 2016, yang telah memberikan persetujuan untuk terdilusinya saham pemerintah hingga 0% di MNA. Dari situ, tergambar pemerintah dapat meninggalkan bisnis atau melepas status BUMN perseroan.
Sementara itu, Direktur Utama Perusahaan Pengelola Aset (Persero) Henry Sihotang menjelaskan bahwa restrukturisasi MNA tengah memasuki tahap proposal penyusunan perdamaian untuk proses Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) di Pengadilan Niaga Surabaya, Jawa Timur. Adapun, jadwal sidang selanjutnya akan berlangsung pada 20 Juli 2018.
Henry mengungkapkan penyusunan proposal perdamaian dilakukan bersama calon investor yang memiliki keinginan untuk menyelamatkan MNA. Usulan skema penyelamatan tersebut harus masuk sebelum jadwal sidang yang telah ditentukan.
Dia menyebut total utang MNA yang diajukan kreditur di pengadilan senilai Rp10,03 triliun. Akan tetapi, menurut perhitungan PPA, total utang perseroan Rp10,72 triliun. “Batas akhir perpanjangan sampai 3 November 2018 kalau memang tidak bisa direstrukturisasi maka MNA bisa dinyatakan pailit,” paparnya.
Henry menyebut, proposal yang tengah disusun bersama calon investor MNA berisi beberapa skema seperti konversi utang menjadi saham dan cicilan jangka panjang. Namun, pihaknya memastikan sang pemilik modal nantinya tetap akan menjalankan model bisnis utama yakni penerbangan.
Menurut catatan Bisnis, MNA memiliki total utang Rp10,03 triliun kepada tiga kategori kreditur. Pertama, kreditur separatis atau jaminan kebendaan senilai Rp3,33 triliun dengan pemegang tagihan terbesar Kementerian Keuangan senilai Rp2,1 triliun.
Kedua, kreditur konkuren senilai Rp5,62 triliun. Tagihan terbesar untuk kategori tersebut dipegang oleh PT Pertamina (Persero) senilai Rp2,6 triliun.
Ketiga, tagihan dari kreditur prefern atau prioritas tercatat Rp1,08 triliun. Jumlah tersebut menampung tagihan dari bekas karyawan dan kantor pajak.
Salah satu pengurus PKPU PT Merpati Nusantara Airlines Beverly Charles Panjaitan menuturkan bahwa mayoritas kreditur yang hadir dalam rapat kreditur menyetujui perpanjangan PKP.
“Hasil rapat hari ini, debitur merasa butuh sedikit lagi finalisasi proposal dengan mitra strategis. Jadi butuh waktu. Kreditur sudah sepakat untuk perpanjangan waktu 45 hari,” tuturnya kepada Bisnis, Senin (16/7).
Dengan tambahan waktu tersebut, Charles meminta debitur serius memanfaatkan waktu tersebut untuk merancang perdamaian yang terbaik.
Berdasarkan penelusuran Bisnis di laman Sistem Informasi Penelusuran Perkara (SIPP) PN Surabaya, PT Parewa Aero Katering yang memohonkan PKPU Merpati (debitur).
Perusahaan aviasi milik negara ini resmi berstatus PKPU sejak 6 Februari lalu, dengan register No.4/Pdt.Sus-PKPU/PN.Sby.
Kuasa hukum Merpati Nusantara Airlines Rizky Dwinanto menyatakan pihaknya optimistis proposal perdamaian dapat diterima oleh para kreditur. Saat ini, MNA selaku debitur tengah melakukan finalisasi dengan mitra strategis.
“Kami berharap proposal perdamaian diterima sehingga optimistis bisa terbang kembali. Target kami seperti itu,” ujar Rizky.
Secara terpisah, Direktur Keuangan PT.Pertamina (Persero), Arief Budiman mengaku belum mendapat detail rencana keputusan yang tengah diambil pemerintah. “Prinsipnya kami mengikuti apa yang akan diputuskan pemerintah dan/atau PKPU,” ujarnya singkat.
Sekretaris Jaringan Penerbangan Indonesia Gerry Soedjatman menilai apabila Merpati dinyatakan pailit tidak akan berpengaruh terhadap industri penerbangan nasional. Terlebih, maskapai pelat merah tersebut sudah tidak beroperasi selama 4 tahun.
“Kalau mau dihidupkan lagi akan sangat mahal, terutama kalau tidak jelas mau main di segmen pasar yang mana,” kata Gerry.
Menurutnya, lebih baik pemerintah mengupayakan pembayaran pesangon karyawan yang sampai saat ini masih belum jelas. Apabila Merpati pailit, justru akan lebih memberikan kepastian hukum terhadap semua pelunasan kewajibannya.
BUMN RUGI
Di sisi lain, Merpati bukan satu-satunya BUMN yang nasibnya berada di ujung tanduk karena beban kerugian dan utang jumbonya kemungkinan tak akan mendapatkan injeksi dana segar dari pemerintah.
Tiga perusahaan lainnya adalah PT Industri Gelas (Persero), PT Kertas Leces (Persero), dan PT Kertas Kraft Aceh (Persero). Kewajiban atau utang ketiga perusahaan tersebut juga lebih besar dibandingkan dengan aset yang dimiliki sampai dengan akhir Desember 2017. Adapun, keempatnya tercatat masih menderita kerugian lebih dari Rp10 miliar.
Aloysius menambahkan, kondisi Merpati, Industri Gelas, Kertas Leces, Kertas Kraft Aceh dalam keadaan bangkrut secara teknikal. Pasalnya, beban utang dan kerugian yang ditanggung lebih besar dibandingkan dengan aset serta industri yang sangat kompetitif.
Henry mengatakan, PPA juga tidak merekomendasikan pemerintah untuk menambah modal lagi di empat perusahaan tersebut. Hal itu untuk menghindari kerugian lebih besar yang diderita oleh pemerintah.
Managing Director Lembaga Management Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (LM FE UI) Toto Pranoto menilai secara pertimbangan kesehatan keuangan empat perseroan tersebut memang dalam kategori buruk. Apalagi, fungsi pelayanan publik yang dimiliki telah digantikan operator lain.
“Kelihatannya tidak banyak pilihan bagi pemerintah dan PPA sehingga likuidasi adalah pilihan tepat,” jelasnya.
Seperti diketahui, Kementerian BUMN mencatat 13 perseroan pelat merah menderita kerugian pada 2017. Total kerugian yang ditanggung mencapai Rp5,20 triliun.
Dari total 13 BUMN yang merugi tahun lalu, tiga di antaranya merupakan emiten yang melantai di Bursa Efek Indonesia (BEI). Berdasarkan data yang dihimpun Bisnis, PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk., PT Indofarma Tbk, dan PT Krakatau Steel (Persero) Tbk. masih mengalami kerugian sampai dengan kuartal I/2018.