Bisnis.com, JAKARTA – Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) meminta pemerintah mengacu pada Undang-undang N0.32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan dalam melakukan penegakan hukum bagi industri di sepanjang Daerah Aliran Sungai (DAS) Citarum.
Ernovian G Ismy, Sekretaris Jenderal API menuturkan, terdapat lima kategori perusahaan yang beroperasi di sepanjang DAS Citarum yang meliputi, pertama tidak memiliki izin dan tidak memiliki instalasi pengolahan air limbah (IPAL), kedua memiliki izin tetapi tidak memiliki IPAL atau sebaliknya, ketiga memiliki izin dan IPAL namun memiliki bypass tidak melalui IPAL.
Sementara itu, kategori keempat adalah memiliki IPAL dan Izin, beroperasi penuh 7x24 jam, namun hasilnya fluktuatif ketika diuji. Sedangkan kategori kelima memiliki IPAL yang beroperasi penuh dan bisa melakukan recycle.
“Untuk kategori satu sampai ketiga memang harus ditindak tegas, tapi yang keempat dan kelima pemerintah jangan samakan dengan kesatu sampai ketiga,” kata Ernovian, Selasa (24/7/2018).
Surat rekomendasi bernomor 038/API/III/2018 ini ini sudah dikirimkan ke Menteri LHK Siti Nurbaya semenjak beberapa bulan lalu.
Dia mengatakan berdasarkan Undang-undang Lingkungan Hdup, untuk melakukan sebuah tindakan dan menjatuhkan sanksi kepada industri pemerintah harus terlebih dahulu melakukan sejumlah langkah seperti pemeriksaan oleh pihak ketiga yang telah diakreditasi oleh pemerintah, melakukan teguran kepada perusahaan jika ada kesalahan yang dilakukan setelah uji laboratorium. Setelah ini semua dipenuhi dan perusahaan masih tidak patuh baru dilakukan tindakan hukum.
“Untuk parameter industri tekstil dan produk tekstil adalah Peraturan Menteri Lingkungan Hidup RI No. 5/2015 tetang baku mutu air limbah, lampiran XLII tentang baku mutu limbah bagi usaha dan atau kegiatan industri tekstil,” katanya.
Dengan melakukan kategorisasi perusahaan ini, Ernovian mengharapkan langkah pemerintah lebih terarah dan berperan sebagai pembina perusahaan termasuk mendorong terjadinya pembenahan.
Untuk itu ketegasan standar yang ditetapkan sendiri oleh pemerintah harus dipenuhi bersama. Baik oleh tim penguji yang ditunjuk pemerintah maupun bagi industri sebagai acuan.
“Standarisasi ini diperlukan untuk memberi arah dan sebagai petunjuk teknis dalam operasional, sehingga kontinuitasnya akan berjalan optimal, dengan menunjuk beberapa laboratorium penguji yang kredible dan akuntable,” katanya.
Selain itu, dia mengharapkan setiap perubahan, baik masa berlaku maupun status perijinan, nama perusahaan, jasa pengolahan limbah (fly ash, bottom ash, sludge) agar di upload di Website KemenLHK.
“Sehingga transparansi dan konsekuensi hukum tidak terjadi terhadap pengguna jasa,” katanya.