Bisnis.com, JAKARTA — Pengusaha dari berbagai sektor industri kian resisten terhadap program pemerintah untuk menggenjot penggunaan minyak kelapa sawit dalam biosolar, sebagai upaya mengatasi kelebihan stok CPO.
Wakil Ketua Asosiasi Pengusaha Truk Indonesia (Aptrindo) Kyatmaja Lookman mengklaim, perluasan mandatori penggunaan dan insentif biosolar dengan kandungan minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) 20% (B20) ke kendaraan nonsubsidi memberatkan pengusaha.
“Kami secara tegas menolak kebijakan perluasan penggunaan B20 dan bahkan B30 mulai tahun depan. Jangan kami para pelaku bisnis di luar industri CPO dikorbankan seperti ini,” ujarnya kepada Bisnis.com.
Menurutnya jika B20 dipaksakan untuk kendaraan non-public service obligation (PSO), biaya operasional para pengusaha truk akan membengkak.
Sebagai gambaran, dia menjelaskan, truk jarak Jakarta—Surabaya biasanya mengonsumsi solar sejumlah 230 liter. Namun, jika menggunakan biosolar untuk jarak yang sama, sebuah truk bisa mengonsumsi sebanyak 260 liter.
Sayangnya, kata Kyatmaja, insentif yang ditawarkan oleh pemerintah maupun Badan Pengelola dana Perkebunan (BPDP) Sawit untuk penggunaan B20 masih belum jelas. Padahal, para pengusaha truk membutuhkan dana yang tidak sedikit untuk menyesuaikan mesin kendaraannya dengan bahan bakar campuran tersebut.
Menurutnya, rerata tingkat toleransi kendaraan berbahan bakar solar yang ada di Indonesia berada pada level biosolar dengan kandungan CPO 7% (B7). Di atas level itu, mesin bisa rusak karena lapisan jeli, lantaran tingginya kandungan lemak di biosolar berbasis CPO.
Alhasil, kendaraan akan lebih boros dalam mengkonsumsi BBM. Selain itu, kendaraan akan sering mengalami kehilangan tenaga saat dioperasikan. Kondisi itu, dianggapnya menganggu produktivitas pelaku usaha terkait.
Terlebih pemerintah akan mempercepat mandatori penggunaan B30 untuk kendaraan PSO maupun non-PSO dari 2020 menjadi tahun depan. Untuk itu, dia mendesak pemerintah mematangkan soal insentif bagi produsen maupun konsumen bahan bakar tersebut.
Sementara itu, Ketua Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo) Yohanes Nangoi bersedia memenuhi mandatori B20 maupun B30, asalkan BBM tersebut cocok dengan spesifikasi mesin di Indonesia.
Pasalnya, selama ini dia banyak menemukan produsen biosolar yang memproduksi bahan bakar tidak sesuai standar. Menurutnya, masih banyak praktik tidak lazim di mana kandungan etanol dalam B20 berada pada level 19% atau 19,5%.
Dia mengatakan, kendaraan bermesin euro-2 masih dapat mentoleransi kadar CPO dalam B20 yang tidak sesuai standar. Namun, ketika nanti kebijakan B30 untuk mesin euro-4 mulai diterapkan pada 2019, hal tersebut tidak bisa dilakukan.
“Mesin euro-4 sangat sensitif. Jadi, sebelum mandatori tersebut dijalankan dengan serius, perlu ada serangkaian kajian mendalam untuk memastikan [dampak] penggunaan biosolar pada kendaraan,” katanya.
TIDAK GEGABAH
Ekonom Universitas Indonesia Berly Martawardaya memperingatkan agar pemerintah tidak gegabah dalam meningkatkan penggunaan biosolar berbasis CPO di dalam negeri. Pasalnya, kebijakan itu bisa berdampak kontaproduktif bagi industri domestik.
“Kajiannya harus mendalam. Semangat menggenjot [pengguanan] CPO di dalam negeri melalui biosolar memang sangat baik, tetapi jangan terburu-buru sehingga membuat industri lain tertekan,” katanya.
Sementara itu, perluasan insentif dan penggunaan B20 rencananya akan diatur melalui peraturan presiden (Perpres) yang diteken dalam waktu dekat.
“Konsumsi B20 untuk non-PSO kurang diimpelentasikan dengan baik selama ini. Untuk itu kami sedang siapkan langkah konkret, seperti menyiapkan perpresnya,” ujar Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution.
Dia meyakini penerapan B20 akan mampu menekan impor dan mengehemat devisa. Pasalnya, selama ini Indonesia memiliki ketergantungan yang tinggi terhadap impor minyak
Dia pun memperkirakan, apabila mandatori B20 dapat terlaksana dan tingkat kepatuhan konsumen mencpai 97%, pengeluaran pemerintah untuk impor solar dapat dihemat hingga US$5,5 miliar/tahun.
Seperti diketahui, mandatori biodiesel sejatinya telah tercantum dalam Peraturan Menteri ESDM No.12/2015, yang mengatur tahapan kewajiban minimal pemanfaatan biodiesel sebagai campuran bahan bakar minyak (BBM).
Regulasi itu mewajibkan usaha mikro, perikanan, pertanian, transportasi, transportasi non-PSO atau penugasan, pelayanan umum, industri, dan komersial untuk menggunakan B20 per Januari 2016.
Rencananya, mandatori biodiesel tersebut kadarnya akan ditingkatkan menjadi 30% (B30) pada Januari 2020. Sementara itu, sektor pembangkit listrik sudah diwajibkan menggunakan B25 sejak April 2015 dan B30 sejak Januari 2016.
Sebagai informasi, 1 liter minyak kelapa sawit dapat menghasilkan kurang lebih 1 liter biosolar. Adapun, produksi biosolar saat ini baru mencapai 3,5 juta kiloliter. Angka itu masih bisa ditingkatkan sekitar 3,3 kali lipat.