Bisnis.com, JAKARTA — Rencana peresmian mandatori penggunaan biosolar dengan kadar Fame 20% diklaim telah memperhitungkan kecukupan biaya subsidi dan kualitas produksi untuk bahan bakar campuran minyak kelapa sawit tersebut.
Dengan demikian, pemerinta optimistis revisi Peraturan Presiden (Perpres) No.61/2015 dapat diterbitkan dalam waktu dekat, guna mengerek tingkat kepatuhan publik dalam menggunakan biosolar dengan kandungan fatty acid methyl ester (Fame) 20% alias B20.
Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto menegaskan, Perpres mandatori B20 tersebut ditargetkan dapat terbit pada Agustus. “Perpres akan terbit Agustus nanti, kemungkinan berbarengan dengan launching euro-4 di GIIAS pada 2 Agustus,” ungkapnya, Senin (30/7/2018).
Sementara itu, Ketua Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo) Johannes Nangoi mengatakan, berdasarkan hasil rapat dengan Menteri Koordinator Perekonomian Darmin Nasution, nantinya Perpres tersebut akan menegaskan kembali kewajiban penggunaan B20 di seluruh Indonesia.
Pasalnya, kewajiban penggunaan B20 untuk sektor non-public service obligation (PSO) sejatinya telah diatur dalam Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) No.12/2015.
Dalam aturan tersebut, sektor usaha mikro, perikanan, pertanian, transportasi, transportasi non-PSO atau penugasan, pelayanan umum, industri, dan komersial wajib menggunakan biosolar jenis B20 pada Januari 2016.
“Jadi tidak ada toleransi lagi, seluruh Indonesia harus pakai B20 untuk kendaraan dengan standar emisi euro-2. Di Permen itu juga diatur bahwa seluruh penyuplai harus menjual B20, kalau ada pelanggaran akan didenda Rp6.000 per liternya,” ujar Johannes.
Sementara itu, terkait implementasi mandatori B20, Direktur Utama Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) Dono Boestami mengaku tidak ada masalah yang berarti.
Dia pun menampik peluang kenaikan beban subsidi yang harus ditanggung BPDPKS karena meningkatnya konsumsi B20 akibat mandatori tersebut.
“Tidak ada masalah, dana subsidi kami cukup dengan asumsi konsumsi solar di Indonesia pada tahun ini. Tidak ada pula kenaikan tarif pungutan ekspor minyak sawit mentah [crude palm oil/CPO untuk menanggung subsidi B20],” papar Dono.
Dia menjelaskan, perhitungan pungutan yang diatur dalam Perpres No.61/2015—sejumlah US$50/ton untuk ekspor CPO dan US$20/ton untuk ekspor produk turunan CPO—ditetapkan ketika selisih antara harga pasar biosolar dengan solar mencapai Rp3.000.
Dia menjabarkan, dengan selisih harga biosolar dan solar saat ini yang mencapai Rp400, BPDPKS tidak memiliki beban untuk menambah setoran untuk subsidi B20.
Selain itu, Dono memproyeksikan, apabila mandatori B20 ini telah diimplementasikan ke seluruh sektor (baik PSO maupun non-PSO), konsumsi biosolar akan meningkat menjadi 4,5 juta kilo liter (kl).
Volume tersebut, menurutnya, meningkat dari target yang ditetapkan oleh BPDPKS pada tahun ini sebesar 3,5 juta kl, di mana subsidi yang dianggarkan mencapai Rp9,8 triliun.
Dia mengasumsikan, dengan kenaikan volume konsumsi B20 menjadi 4,5 juta kl/tahun dan nilai pungutan ekspor CPO per bulan yang rata-rata mencapai Rp1 triliun, maka BPDPKS masih memiliki ruang yang luas untuk menggelontor subsidi.
Sementara itu, Ketua Harian Asosiasi Produsen Biofuel Indonesia (Aprobi) Paulus Tjakrawan mengaku siap mengakomodasi kenaikan permintaan biosolar akibat perluasan mandatori B20.
Dia memperkirakan kenaikan produksi bahan bakar tersebut akan mencapai 6 juta kl, sedangkan kapasitas terpasang pabrik biosolar yang ada saat ini mencapai 12 juta kl.
Terpisah, Guru Besar Institut Pertanian Bogor (IPB) yang juga mantan Direktur BPDPKS Bayu Khrisnamurti menjelaskan, sebenarnya sejak awal pemerintah telah mewajibkan penggunaan B20 untuk PSO dan Non PSO.
Hanya saja, mandatori untuk PSO disubsidi sedangkan non-PSO tidak. Kini, dengan adanya revisi Perpres, subsidi juga akan diberlakukan kepada non-PSO. Dia menambahkan, sekarang adalah waktu yang tepat untuk menegaskan perluasan mandatori B20, selagi harga CPO dan minyak mentah global melandai.
“Dengan harga minyak mentah saat ini yang berkisar US$70—US$75/barel dan CPO US$650-US$675/ton, subsidi biosolar tidaklah besar, bahkan bisa jadi tidak perlu subsidi,” katanya.
RESISTENSI PENGUSAHA
Pada perkembangan lain, tanggapan beragam muncul dari sejumlah konsumen biosolar. Wakil Ketua Asosiasi Pengusaha Truk Indonesia (Aptrindo) Kyatmaja Lookman menolak keras penerbitan Perpres mandatori B20 tersebut.
Menurutnya, selama ini pemerintah selalu tutup mata dengan kondisi di lapangan terkait penggunaan biosolar. “Pemerintah seperti pakai kaca mata kuda. Masukan kami dari kalangan usaha tidak diindahkan,” katanya.
Dia menyebutkan, selama ini kendala yang dialami adalah biaya operasional yang membengkak akibat borosnya konsumsi biosolar dibandingkan solar biasa. Dia pun menyoroti banyaknya penjual B20 yang tidak patuh dengan kadar Fame 20%, dengan menjualnya hanya pada level 19%.
Sementara itu, Direktur Eksekutif PT Freeport Indonesia Tony Wenas mengaku siap mengakomodasi instruksi penggunaan B20 untuk alat berat non-PSO. Dia menyebutkan akan segera melakukan uji coba dan penyesuaian kendaraannya untuk mengonsumsi B20.
“Persoalannya kami kerja di ketinggian di atas 4.000 kaki. Tingkat kebekuannya tinggi, hambatannya tentu di biosolar yang mengandung CPO itu,” ujarnya.