Bisnis.com, JAKARTA - Huruf C pada kata APEC merupakan singkatan dari Cooperation (kerjasama). Namun, hal itu tidak terlihat pada akhir pekan lalu, ketika para pemimpin dari 21 negara anggota Kerjasama Ekonomi Asia Pasifik berkumpul di Port Moresby, Papua Nugini.
Perseteruan dagang yang terjadi antara dua kekuatan terbesar di APEC, yaitu Amerika Serikat dan China, dinilai sebagai penghambat utama untuk menghasilkan komunike tradisional dari KTT selama dua hari pada 17—18 November 2018 tersebut.
Menjelang ulang tahunnya yang ke-30, kegagalan untuk mencapai komunike di akhir KTT APEC untuk pertama kalinya menimbulkan kesangsian mengenai relevansi APEC sendiri di saat AS dengan sangat jelas telah menolak pandangan multilateralisme.
“Hal itu [kegagalan membuat komunike] merupakan pertanda kematian dari visi perdagangan pendiri APEC,” tulis Euan Graham, Direktur Eksekutif La Trobe Asia di La Trobe University, Australia, lewat akun Twitter-nya, seperti dikutip Reuters, Selasa (19/11/2018).
Adapun APEC yang didirikan pada 1989 dengan tujuan memperkuat hubungan dagang dan ekonomi negara-negara di sekitar Samudera Pasifik sebelumnya hanya mengadakan pertemuan di tingkat menteri.
Baru lah pada 1993, Presiden AS Bill Clinton menginisiasi pertemuan APEC di tingkat kepala negara. Sejak saat itu, APEC belum pernah sekali pun gagal menerbitkan pernyataan bersama atau komunike yang berisi simpulan dari pertemuan.
“Ini sangat merisaukan dari perspektif sistemik. WTO (Organisasi Dagang Internasional) juga menghadapi tantangan yang sama,” ujar Charles Finny, Konsultan Perdagangan yang berbasis di Wellington dan mantan perunding dagang dari Pemerintahan Selandia Baru.
Adapun, alih-alih kerjasama, yang menjadi tema dalam KTT APEC pada tahun ini tampaknya lebih kepada konflik dan “kekeraskepalaan” AS dan China yang saling lempar kritik terhadap kebijakan satu-sama-lain.
Wakil Presiden AS Mike Pence yang mewakili Presiden Donald Trump menyindir China, dengan menyampaikan bahwa “AS tidak akan menenggelamkan mitra kami ke lautan utang” dan “AS tidak akan menawarkan sabuk yang ketat ataupun jalan satu arah”, yang mengacu kepada proyek Belt and Road Initiative (BRI) yang dimiliki Presiden China Xi Jinping.
Kemudian, Presiden Xi pun merespons dengan mengimbau kerjasama yang lebih besar lagi di kawasan Asia-Pasifik dan bahwa penerapan tarif serta merusak rantai penawaran akhirnya “ditakdirkan untuk gagal”.
“Ini bahkan bukan ajang lelang, ini APEC. Menurut saya, China dan AS membajak semangat APEC,” kata seorang diplomat yang turut dalam perundingan untuk menyusun komunike.
Adapun AS juga bahkan lebih banyak menggunakan terminologinya sendiri untuk memanggil kawasan Asia-Pasifik, dengan sebutan Indo-Pasifik. Wapres AS Mike Pence menyebut APEC hanya lima kali sementara Indo-Pasifik disebutkan sebanyak 41 kali dalam pidatonya pada Sabtu (17/11/2018).
Lebih lanjut, Departemen Luar Negeri AS pun menyalahkan kegagalan membentuk komunike tersebut karena kurangnya keinginan dari beberapa pihak untuk mendukung pernyataan yang menyepakati perdagangan adil dan bebas tanpa menyebut spesifik ke satu negara (China).
“Sangat disayangkan, tidak semua ekonomi—terlepas dari retorikanya—dapat mendukung posisi ini [perdagangan adil dan bebas],” tulis Juru Bicara Deplu AS Heather Nauert, seperti dikutip dari pernyataan resmi.
Begitu pula Juru Bicara Kementerian Luar Negeri China Geng Shuang menilai bahwa AS yang datang ke KTT “dengan kemarahan” telah menyebabkan terjadinya perselisihan dan pertentangan yang berujung merusak “suasana harmonis” perundingan.
“APEC merupakan panggung untuk memperkuat kerjasama, bukan tempat untuk mengritik satu sama lain. China hadir untuk mempromosikan kerjasama dan mencari konsensus, bukannya ingin masuk ke dalam ring tinju,” ujar Geng.
Selain itu, sebagai tuan rumah pertemuan APEC, Papua Nugini juga berperan dalam membentuk komunike tersebut. Namun, tidak banyak yang menyalahkan negara termiskin di APEC tersebut karena dinilai terperangkap di tengah-tengah kekuatan yang lebih besar.
“Masa-masa seperti ini, menjamu pertemuan pemimpin seperti yang kita lakukan pekan lalu itu bukan hal yang mudah,” ujar PM Australia Scott Morrison, sambil mengapresiasi bahwa PM Papua Nugini Peter O’Neill telah memperlihatkan integritas dan kepemimpinan yang luar biasa.