Bisnis.com, JAKARTA -- Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengungkapkan terdapat sejumlah risiko ketidakpastian global yang masih akan membayangi sepanjang 2019.
Berbagai faktor eksternal tersebut dinilai dapat memberikan tekanan terhadap pertumbuhan ekonomi.
"Momentum yang terjadi tahun lalu bisa terjaga, tapi asumi pertumbuhan ekonomi di APBN 5,3% mungkin akan berat dari sisi demand dan supply. Kami melihat ada kemungkinan downside risk, tapi paling tidak tetap di atas 5%," ujarnya di Jakarta, Selasa (8/1/2019).
Sri Mulyani mengungkapkan pemerintah terus mengawal asumsi makro agar tetap relevan dengan situasi eksternal. Hal tersebut dipandang sangat berpengaruh terhadap penerimaan negara.
Salah satu indikator yang terus melebar dari asumsi yang ditetapkan dalam APBN 2019 adalah kurs rupiah. Di dalam APBN 2019, pemerintah mematok nilai tukar senilai Rp15.000 per dolar AS.
Menteri Keuangan (Menkeu) mengungkapkan tekanan terhadap rupiah terus mereda.
Berdasarkan Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (JISDOR), rupiah bertengger di level Rp14.031 per dolar AS. Nilai tukar itu relatif menguat jika dibandingkan dengan hari sebelumnya, yang berada di posisi Rp14.105 per dolar AS.
"Ini menjadi suatu perubahan yang terus kami kelola.Kemungkinan ada adjustment dari nilai tukar yang terus terapresiasi," tuturnya.
Di samping itu, asumsi makro yang ditetapkan senilai US$70 per barel dinilai akan terus menjauh dari proyeksi. Kelebihan pasokan disebut dapat terus menurunkan acuan harga minyak dunia. Dampaknya, penerimaan pajak dan non pajak dari migas dapat meleset dari proyeksi APBN.
"Excess supply terjadi di dunia, sehingga harga migas jatuh dan permintaan berpotensi menurun. Dinamika ini yang akan mewarnai 2019, pasti akan mempengaruhi penerimaan pajak kita, dan juga trade antar negara," lanjut Sri Mulyani.
Dia mengungkapkan pengelolaan asumsi makro yang telah berjalan cukup baik sepanjang 2018, inflasi yang terjaga berada di bawah proyeksi, dan pertumbuhan di atas 5% menggambarkan stabilitas yang cukup baik. Persepsi positif tersebut menciptakan iklim investasi yang cukup baik di mata dunia usaha untuk mendorong ekonomi.
Daya tarik Indonesia yang lebih baik diyakini akan menarik capital inflow. Hal ini mesti dijaga lewat koordinasi antara pemangku kepentingan di pusat maupun daerah dan swasta.