Bisnis.com, JAKARTA — Beban fiskal pemerintah pada 2026 akan semakin berat seiring tingginya suku bunga global dan meningkatnya pembayaran bunga utang, seperti yang ditetapkan dalam RAPBN 2026.
Direktur Eksekutif Centre for Strategic and International Studies alias CSIS (CSIS) Yose Rizal Damuri menjelaskan bahwa otoritas moneter Amerika Serikat (AS) besar kemungkinan masih akan mempertahankan suku bunga tinggi hingga kuartal I/2026.
Kondisi tersebut, sambungnya, akan membatasi ruang bagi Bank Indonesia untuk menurunkan suku bunga tanpa menimbulkan gejolak di pasar keuangan.
“Apa implikasinya kepada APBN Indonesia? Di sini kita bisa lihat bahwa biaya utang Indonesia juga masih akan tinggi dan akan semakin meningkatkan beban fiskal di tahun 2026,” kata Yose dalam media briefing CSIS, Senin (18/8/2025).
Sementara itu, Peneliti Senior Departemen Ekonomi CSIS Deni Friawan mengingatkan tren pembayaran utang pemerintah kembali meningkat dalam tiga tahun terakhir, sejalan dengan pelebaran defisit anggaran.
Menurut catatannya, sebagian besar pembayaran utang digunakan untuk bunga utang. Pada 2024 misalnya, dari total pembiayaan utang sebesar Rp558,1 triliun, Rp488,4 triliun di antaranya digunakan untuk pembayaran bunga utang.
Baca Juga
Akibatnya, spread atau selisih antara pembiayaan utang dan pembayaran bunga utang makin mengecil. Pada 2024, selisihnya hanya Rp69,6 triliun.
"Tidak heran makanya porsi utang kita itu terus meningkat dan utang terhadap PDB kita pun juga turut meningkat. Akhir tahun itu sudah hampir Rp9.000 triliun dan rasionya sudah hampir 39% dari PDB,” kata Deni pada kesempatan yang sama.
Ruang fiskal pemerintah pun semakin menyempit akibat pembayaran bunga utang, yang merupakan belanja wajib, menyedot porsi besar dalam APBN. Pada 2026, Deni mencatat utang jatuh tempo pemerintah pusat tak kurang dari Rp800 triliun.
Masalahnya lagi, sambungnya, Presiden Prabowo Subianto memprioritaskan program-program unggulan yang membutuhkan anggaran ratusan triliun.
Dalam RAPBN 2026, pemerintah menganggarkan Rp335 triliun untuk program makan bergizi gratis, Rp181,8 triliun untuk Koperasi Desa Merah Putih, Rp57,7 triliun untuk program tiga juta rumah, Rp402,4 triliun untuk program ketahanan energi, dan Rp164,6 triliun untuk program ketahanan pangan.
"Karena kita punya UU yang membatasi maksimal defisit 3% dari PDB, makanya harus ada trade-off, harus ada yang dikorbankan. Trade-offnya adalah transfer ke daerah itu menjadi lebih rendah. Pengeluaran hal yang lain juga itu berkurang, misalnya untuk perlindungan sosial itu juga kenaikannya rendah dan porsinya juga jadi rendah.,” jelasnya.
Dengan struktur belanja yang rigid, Deni menyimpulkan RAPBN 2026 akan terhimpit dua tekanan berat yaitu antara menjaga kesinambungan fiskal dan memenuhi janji politik presiden.