Bisnis.com, JAKARTA—Konsep Indonesia sebagai poros maritim dunia sejatinya merupakan cita-cita yang luhur. Sayangnya, keinginan tersebut belum disertai dengan pembuatan sistem atau roadmap pengembangan dalam jangka panjang.
Direktur National Maritime Institute (Namarin) Siswanto Rusdi mengatakan, agenda pembangunan poros maritim yang mencakup 5 pilar saat dicanangkan pada Oktober 2014, kemudian direvisi menjadi 7 pilar. Hal itu sesuai dengan terbitnya Peraturan Presiden (Perpres) No. 16/2017 tentang Kebijakan Kelautan Indonesia (KKI).
Ketujuh pilar KKI itu terdiri atas, pertama, pengelolaan sumber daya kelautan dan pengembangan sumber daya manusia. Kedua, pertahanan, keamanan, penegakan hukum, dan keselamatan di laut.
Ketiga, tata kelola dan kelembagaan laut. Keempat, ekonomi, infrastruktur kelautan, dan peningkatan kesejahteraan. Kelima, pengelolaan ruang laut dan perlindungan lingkungan laut. Keenam, budaya bahari. Ketujuh, diplomasi maritim.
Namun, dalam dokumen tersebut maupun rancangan program terkait, pemerintah belum mencantumkan ukuran pencapaian dari 7 pilar. Dengan demikian, sulit mengukur sejauh mana keberhasilan program maritim.
“Dari awal belum dibuat ukuran-ukuran pencapaiannya seperti apa. Misalnya diplomasi maritim, ukuran pencapaiannya apa? Parameternya belum ada,” tutur Siswanto kepada Bisnis, Rabu (24/4/2019).
Selain tidak adanya rancangan program, permasalahan lain yang menghadang cita-cita maritim ialah belum padunya entitas pemerintah. Pasalnya, program kemaritiman merupakan kerja sama lintas kementerian dan lembaga, bersama dengan pemerintah daerah.
Sebagai contoh, dalam poin keenam KKI, yakni budaya bahari, tentunya membutuhkan program teknis dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud). Adapun, dalam poin kedua KKI soal pertahanan dan keamanan, terkadang tugas TNI AL, Polisi Air, atau Kesatuan Penjagaan Laut dan Pantai (KPLP) tumpang tindih.
Ketiga instansi tersebut memiliki kewenangan memeriksa dan memberhentikan kapal dagang. Seharusnya dengan adanya sinergi kerja lintas instansi semakin padu dan terarah.
Dari sisi ekonomi dan infrastruktur, pemerintah menjagokan program tol laut. Sayangnya hal itu belum meredam tingginya harga barang pokok di wilayah timur Indonesia.
“Transportasi laut hanya berkontribusi 30% dalam pembentukan harga. Masih panjangnya rantai distribusi ke daerah, seperti trucking, inilah yang menentukan harga di pasar,” imbuhnya.
Dari sisi perikanan, seharusnya pemerintah menggenjot penghiliran di pusat-pusat produksi. Dengan demikian, produk yang didistribusikan di dalam negeri maupun ekspor memiliki kualitas yang bagus dengan harga tinggi.
Siswanto menuturkan, pengerjaan program kelautan apalagi mengejar cita-cita poros maritim dunia tidak bisa berhasil dalam 5 tahun siapaun presidennya. Setidaknya dibutuhkan waktu 20 tahun untuk melakukan pembenahan.
Hal utama yang perlu dibenahi ialah membuat peta jalan maritim sebagai sistem yang solid. Nantinya, sistem terbut dapat diteruskan dan dijalankan oleh pemerintahan selanjutnya.
“Jadi, road map untuk mengejar cita-cita poros maritim dunia sebaiknya diselesaikan terlebih dahulu, sehingga menjadi sebuat sistem. Sistem inilah yang menjadi patokan pemerintah,” tuturnya.
Indonesia Butuh Peta Jalan Pengembangan Maritim
Konsep Indonesia sebagai poros maritim dunia sejatinya merupakan cita-cita yang luhur. Sayangnya, keinginan tersebut belum disertai dengan pembuatan sistem atau roadmap pengembangan dalam jangka panjang.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel
Penulis : Hafiyyan
Editor : Yusuf Waluyo Jati
Topik
Konten Premium
Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.
10 jam yang lalu