Bisnis.com, JAKARTA — DPR hingga ekonom menyoroti tren kenaikan belanja bunga utang akan berdampak pada penyempitan ruang fiskal pemerintah, terlebih untuk tahun depan diprediksi semakin besar dengam kondisi rupiah yang juga diramal melemah.
Wakil Ketua Komisi XI DPR Muhammad Hanid Dhakiri melihat dari kacamata wakil rakyat, memang tren pembayaran bunga utang yang terus naik memang jadi perhatian serius, terlebih saat suku bunga dan nilai tukar masih setinggi sekarang ini.
Untuk tahun depan pun, pemerintah dan DPR telah menyepakati asumsi dasar untuk suku bunga Surat Berharga Negara (SBN) 10 tahun di 6,6%–7,2%, dan kurs Rp16.500–16.900 per dolar AS.
"Ini jelas akan berdampak langsung ke beban bunga utang," ujarnya kepada Bisnis, Kamis (10/7/2025).
Hanif menyampaikan bahwa secara historis, pada 2024 pemerintah membayar bunga utang senilai Rp499 triliun atau 14,85% dari total belanja kala itu.
Pada tahun ini, pemerintah merencanakan pembayaran bunga utang senilai Rp552,9 triliun atau 15,27% dari rencana awal belanja negara senilai Rp3.621,3 triliun.
Baca Juga
Menurut Hanif, faktor utama semakin besarnya bunga utang sejalan dengan beban utang pokok yang juga bertambah jumlahnya. Di samping itu, bunga pasar masih tinggi, dan rupiah belum terlalu stabil.
"Ini semua bikin bunga utang makin berat dan makin membatasi ruang fiskal buat belanja yang benar-benar produktif," lanjutnya.
Untuk itu, DPR mendorong pemerintah untuk memperdalam pasar keuangan domestik dan melakukan refinancing yang cerdas.
Dirinya juga meminta Kementerian Keuangan memastikan utang dipakai untuk hal-hal yang menghasilkan penerimaan di masa depan, bukan hanya menutup belanja rutin.
Kepala Pusat Makroekonomi dan Keuangan Institute for Development of Economics and Finance (Indef) M. Rizal Taufikurahman melihat peningkatan ini bukan sekadar fenomena musiman, melainkan mencerminkan kondisi struktural pembiayaan fiskal yang makin ekspansif dalam menghadapi defisit anggaran.
Secara kumulatif, bunga utang dalam lima tahun terakhir telah naik hampir 80%, yang menunjukkan bahwa beban biaya utang semakin membebani APBN. Hal ini menjadi perhatian karena pertumbuhan pembayaran bunga tidak dibarengi oleh kenaikan rasio penerimaan terhadap PDB yang signifikan.
Bunga Utang kian Menantang
Bahkan, Rizal melihat bahwa pembayaran bunga utang pemerintah Indonesia pada semester II/2025 menghadapi sejumlah tantangan struktural dan eksternal.
Dengan realisasi semester I mencapai Rp257,1 triliun dan proyeksi semester II sebesar Rp295,8 triliun, total pembayaran bunga utang 2025 diperkirakan menembus Rp552 triliun atau hampir 16% dari total belanja negara.
"Tantangan utama pada paruh kedua tahun ini berasal dari dua sisi. Pertama, fluktuasi nilai tukar rupiah terhadap dolar AS, yang masih berisiko melemah seiring tekanan eksternal seperti ketidakpastian arah suku bunga The Fed dan ketegangan geopolitik global," ujar Rizal.
Tantangan lainnya, yakni tingginya imbal hasil Surat Berharga Negara (SBN) dalam negeri dimana yang masih berada di kisaran 6,8–7,3%, dimana menyebabkan beban bunga utang dalam negeri menjadi sangat dominan, yakni mencapai 91% dari total bunga semester I.
Meskipun nilai tukar cenderung stabil dua bulan terakhir, tekanan global terhadap suku bunga tetap menjadi variabel risiko utama dalam menekan efisiensi pembayaran bunga utang.
“Konsekuensi dari beban bunga yang kian membesar adalah makin sempitnya ruang fiskal untuk belanja produktif dan prioritas nasional,” tuturnya.
Proporsi belanja negara yang dialokasikan untuk pembayaran bunga menyaingi atau bahkan melampaui belanja pendidikan dan infrastruktur. Ini menciptakan konsekuensi serius, yakni kemampuan negara untuk melakukan stimulus ekonomi, pembangunan SDM, dan perlindungan sosial menjadi terbatas.
Dalam jangka menengah, katanya, jika tax ratio tidak membaik dan belanja terus membesar, rasio utang terhadap PDB berpotensi menembus batas aman. Meski pemerintah memang telah menggunakan dana SAL untuk meredam defisit dan menghindari tambahan utang baru, namun ini bukan solusi jangka panjang.
Oleh karena itu, pemerintah perlu melakukan konsolidasi fiskal secara disiplin melalui penguatan penerimaan negara, efisiensi belanja, diversifikasi instrumen pembiayaan, dan reformasi struktural.
“Ini agar pemerintah tidak terjebak dalam spiral ‘utang untuk bayar bunga utang’ alias gali lobang tutup lobang,” tutupnya.