Bisnis.com, JAKARTA - Serapan tak maksimal ayam segar di pasar tradisional kala persediaan unggas hidup (live bird) berlimpah menghadirkan opsi pemanfaatan lebih luas rantai dingin demi stabilisasi pasokan. Kendati demikian, alternatif ini masih sulit diwujudkan karena preferensi masyarakat umum selaku konsumen terbesar pasar unggas masih mengarah pada ayam segar atau hot carcas.
"Konsumen kita masih kerap salah kaprah, mereka memandang ayam beku itu bukan ayam segar. Mereka ingin hot carcas. Belum lagi konsumen yang muslim, ada yang ingin melihat langsung proses pemotongan. Ini di Jakarta juga sempat ada Pergub berisi larangan masuk ayam hidup, tapi tidak berjalan karena preferensi konsumen kita masih ke ayam yang baru dipotong," kata Sekretaris Jenderal Asosiasi Rumah Potong Hewan Unggas Indonesia (Arphuin), P. Nono kala dihubungi Bisnis, Kamis (27/6/2019).
Dari total produksi industri ayam, Nono menjelaskan baru sekitar 18% sampai 20% yang memanfaatkan rantai dingin. Itu pun dijalankan oleh rumah potong ayam (RPA) modern yang melakukan distribusi ke pasar swalayan, hotel, restoran, dan kafe (Horeka). Sementara 80% lainnya masih berpusat di pasar-pasar tradisional yang banyak dikonsumsi masyarakat umum.
Dengan kapasitas operasi pemotongan sebesar 1,5 juta ekor setiap harinya, Nono mengatakan penyimpanan untuk ayam beku saat ini sangat terbatas. Ia pun mengaku banyak rumah potong yang tidak sanggup menampung pasokan ayam hidup yang besar. "Dalam beberapa minggu, ketika kondisi oversupply begini kami tidak sanggup menampung," tutur Nono.
Dari segi konsumsi Nono menjelaskan bahwa masyarakat perkotaan sejatinya telah mulai mengarahkan konsumsi ke ayam beku. Namun jumlahnya tak sebanding dengan konsumen ayam segar.
"Kami bisa saja menjangkau pasar itu [masyarakat sebagai konsumen akhir], tapi di kota-kota besar saja. Kalau di kabupaten atau di daerah pedesaan berat untuk karkas dingin," jelasnya.
Nono mengatakan rantai dingin memerlukan biaya yang lebih besar dalam hal pengolahan dan distribusi. Selisih harga yang bisa mencapai Rp1.000-Rp1.500/kg pun ia sebut membuat banyak pedagang dan konsumen akhir yang enggan beralih.
Dihubungi terpisah, Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri Kementerian Perdagangan Tjahya Widayanti menjelaskan bahwa saat ini pemasaran ayam beku memang masih didominasi oleh perusahaan besar yang telah memiliki fasilitas rantai dingin sendiri. Ia pun menilai pemanfaatan jalur ini telah optimal jika merujuk pada kapasitas penyimpanan yang dimiliki setiap perusahaan.
"Untuk kebutuhan konsumen akhir yang berorientasi pada karkas segar, saat ini memang masih diperlukan edukasi khususnya dari segi kehigienisan dan kesehatan. Namun pada beberapa wilayah, para konsumen akhir mulai beralih pada frozen chicken karena harga yang ditawarkan justru biasanya lebih rendah dibanding dengan harga karkas segar," jelasnya.