Bisnis.com, JAKARTA -- Pemerintah tengah mengupayakan sejumlah cara agar Indonesia bisa memproduksi sendiri garam untuk kebutuhan industri di dalam negeri. Salah satunya adalah pengembangan pabrik penghasil garam industri.
Deputi Bidang Teknologi Informasi Energi dan Material Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) Eniya Listiani Dewi mengatakan pengembangan pabrik tersebut diestimasi bisa dieksekusi dalam waktu dekat. Dengan investasi sekitar Rp29 miliar, pabrik ini diprediksi bisa menghasilkan 40.000 ton garam per tahun untuk kebutuhan industri.
Eniya menyebutkan satu unit pabrik sebagai pilot project diestimasi akan mulai beroperasi pada Desember tahun ini. Pabrik ini akan dibangun di lahan milik PT Garam yang ada di Gresik. Pabrik akan menyerap garam dengan kualitas KW 1 dari PT Garam sebagai bahan baku
“Saya prediksi Agustus sudah berdiri nanti konstruksi. Sistemnya kerja sama operasi. Nanti yang mengoperasikan PT Garam,” ujarnya, baru-baru ini.
Berdasarkan studi kelayakan (feasibility study) yang telah dilakukan pihaknya, tingkat rendemen dalam pengolahan akan lebih besar dari 80 persen atau dengan potential loss lebih kecil dari 20 persen.
Eniya menjelaskan, sebenarnya pembangunan pabrik ini sudah direncanakan sejak lama. Awalnya, pihaknya membidik lahan yang masuk dalam program ekstensifikasi ladang garam di Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT).
Baca Juga
Namun, upaya tersebut masih terkendala masalah lahan. Tak hanya di Kupang, hal serupa juga akan dikloning di berbagai tempat lain seperti Jeneponto di Sulawesi Selatan dan Pati di Jawa Tengah.
Pihaknya juga berharap petani-petani garam yang ada saat ini bisa ikut tertarik untuk bergabung dengan program integrasi lahan ini. Dengan proses ini, Eniya memprediksi garam industri yang dihasilkan akan bisa benar-benar diserap oleh industri.
Pasalnya, selain kualitasnya yang sudah menyamai garam impor, harga pokok produksinya pun bisa ditekan hingga ke angka Rp200 per kilogram (kg). Adapun saat ini, harga garam rakyat masih jauh lebih tinggi lantaran biaya produksi yang memang masih mahal.
“Kita harapkan itu bisa bersaing dengan impor. Harga pokok produksi target saya bisa di bawah Rp200 rupiah per kg, impor kan Rp500 [per kg]. Waktu itu saya hitung di Kupang pun bisa Rp150 per kg,” ujarnya.