Bisnis.com, JAKARTA - PT KS telah memecahkan rekor baru produksi baja lembaran panas (hot rolled coil) yang terbesar sepanjang sejarah Krakatau Steel berdiri mencapai 203.315,55 ton pada Oktober 2019. Rekor produksi ini merupakan pemecahan dari total produksi sebelumnya yakni sebesar 200.411 ton pada Desember 2007.
Direktur Utama PT KS Silmy Karim, menyambut baik atas capaian ini. “Pencapaian ini membuktikan bahwa proses restrukturisasi dan transformasi di internal Krakatu Steel telah menunjukkan hal yang positif. Hampir keseluruhan dari produksi adalah merupakan baja yang sudah dipesan, sehingga Krakatau Steel mampu menjaga stock inventory pada tingkat yang efisien”, ungkap Silmy, Minggu (3/11/2019).
Selain itu, hasil ini juga menunjukkan komitmen manajemen dan karyawan dalam rangka mendukung proses transformasi agar Krakatau Steel sehat kembali. Dengan semangat perbaikan yang terus menerus, capaian prestasi lainnya akan tercapai di masa mendatang.
Capaian produksi ini juga diikuti dengan pengiriman produk jadi di bulan Oktober yang melebihi target, yakni mencapai 164.284 ton kepada konsumen. Ini adalah angka tertinggi shipment sepanjang 2019. Sementara untuk kolektivitas pembayaran di bulan yang sama juga berhasil melampaui target.
“Kami terus berbenah dan melakukan perbaikan. Krakatau Steel secara perlahan mulai membangun kembali kekompakan tim antar lintas fungsi dan lebih fokus kepada pelayanan konsumen. Kami meyakini dan akan menjalani hal ini dengan konsisten”, imbuh Silmy.
Dalam hal pengembangan kapasitas, saat ini dilakukan pembangunan Hot Strip Mill#2 yang pada kuartal 4 2019 nanti akan selesai mechanical completion-nya.
Pada awal 2020, pabrik SM#2 akan mulai produksi. Dengan adanya kedua pabrik HSM#1 dan HSM#2 ini, kapasitas produksi HRC meningkat menjadi 3,9 juta ton per tahun dan selanjutnya dapat dikembangkan menjadi 6,4 juta ton per tahun.
“Dengan beroperasinya HSM#2 maka kapasitas terpasang pabrik penghasil HRC di Indonesia sudah lebih besar daripada permintaan pasar, sehingga seluruh kebutuhan HRC dapat 100% dipasok dari dalam negeri. Tidak perlu impor,” ujar Silmy.
Silmy menambahkan, dengan kondisi produksi yang mumpuni seperti ini menyatakan bahwa produsen baja nasional tidak mempunyai masalah dalam hal produksi. Melainkan, masalah industri baja nasional berada pada tata niaga dan impor baja nasional.
Menurutnya, tantangan yang dihadapi saat ini adalah bagaimana menghentikan impor baja dan mewujudkan swasembada baja. Industri baja nasional belakangan ini menghadapi impor baja dengan cara circumvention (pengalihan HS code) sehingga tidak membayar bea masuk.
“Ini mematikan industri baja nasional. Kami berharap Pemerintah dapat melindungi investasi yang sudah masuk ke Indonesia melalui kebijakan tata niaga dan pengetatan ijin impor untuk meningkatkan utilisasi pabrik baja terintegrasi dari hulu hingga ke hilir,” ungkapnya.