Bisnis.com, JAKARTA — Pengusaha rempah mengemukakan turunnya nilai ekspor lebih banyak dipengaruhi oleh aksi tahan stok alih-alih pelemahan produksi.
Direktur PT Alam Sari Buana Sigit Ismayanto menyebutkan harga sebagian besar komoditas rempah yang belum menarik menjadi alasan utama pelaku usaha menahan pasokan. Untuk pasokan, dia menyebutkan tak ada permasalahan dari sisi produksi.
“Permintaan banyak dari luar tetapi harga tidak menarik sehingga banyak yang menahan stoknya. Dari segi suplai saya kira baik. Ini lebih ke harga yang tidak menarik. Ada kecenderungan menahan stok,” kata Sigit kepada Bisnis, belum lama ini.
Sigit menyatakan bahwa lada merupakan salah satu komoditas unggulan ekspor yang harganya belum bergairah. Untuk lada hitam misalnya, harga di tingkat petani berkisar di angka Rp22.000 per kilogramnya. Sementara itu, untuk lada putih, harganya bervariasi di rentang Rp52.000—54.000 per kilogram.
“Tetapi kalau di luar Bangka Belitung harganya bisa di bawah Rp50.000 per kilogram, berkisar di Rp44.000—48.000 per kilogram. Di sisi lain, harga lada hitam itu berkisar di Rp28.000 kilogram,” terangnya.
Sigit berpendapat pasokan lada yang melimpah di pasar global merupakan salah satu faktor yang mengakibatkan harga tak kunjung membaik. Di Vietnam misalnya, produktivitas lada disebut Sigit bisa mencapai 2 ton per hektare (ha), jauh melampaui Indonesia yang masih berkisar di angka 600 kilogram—700 kilogram per ha.
“Pada saat yang sama harga memang cenderung turun. Di negara produsen pun memasuki masa panen,” imbuhnya.
Berdasarkan data Kementerian Perdagangan, volume ekspor lada Indonesia sepanjang Januari—Juli 2019 mencapai 27,16 ton dengan nilai US$75,54 juta. Nilai ekspor tersebut cenderung turun dibanding periode yang sama tahun lalu yang mencapai US$79,89 juta dengan 22,85 ton.
Adapun, sepanjang 2018, total nilai ekspor lada mencapai US$152,47 juta dengan volume sebanyak 47,62 ton, turun dari capaian tahun sebelumnya sebanyak 42,69 ton dengan nilai US$235,96 juta.