Sejauh ini, Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) telah melakukan monitoring yang sangat baik terkait gunung api di Indonesia.
Akan tetapi, menurut Mirzam, tidka mengurangi kepentingan masyarakat mengetahui self mitigation dengan melihat fenomena yang terjadi di gunung api. Adapun bahaya dari gunung api sendiri terbagi ke dalam dua kelompok, yakni bahaya primer dan bahaya sekunder.
Bahaya primer, adalah bahaya yang terjadi bersamaan saat gunung tersebut meletus, contohnya adalah letusan merapai yang baru terjadi kemarin berupa munculnya abu vulkanik, sehingga bisa menyebabkan gangguan kesehatan dan gangguan pandangan.
Bahaya sekunder, yaitu bahaya yang terjadi setelah erupsinya berakhir, seperti munculnya lahar dingin.
“Terkadang orang lupa ketika letusan sudah berakhir, abu vulkanik yang mengendap di lereng, dan bercampur dengan air akan terkirim bersama, atau dikenal dengan lahar dingin atau lahar hujan,” katanya.
Menurutnya, bahaya primer dan sekunder memiliki tingkat yang sama. Akan tetapi lahar panas atau lahar erupsi yang terjadi akibat gunung api yang memiliki danau kawah bisa diantisipasi, sementara lahar dingin kurang bisa diantisipasi.
“Istilah lahar dingin ini awalnya memang dikenal dari Gunung Merapi kemudian banyak diterapkan di gunung-gunung api di dunia,” ungkapnya.
Untuk itu, letusan gunung api dapat diprediksi melalui prediksi jangka pendek dan prediksi jangka panjang. Prediksi jangka pendek dengan cara melihat aktivitas gunung api seperti seismicity, ground deformation, hidrologi, dan kandungan gas.
Prediksi jangka panjang dapat diketahui dengan cara melihat periode letusan suatu gunung. Prediksi jangan panjang ini dapat dilakukan dengan menghubungkan data setiap waktu letusan dengan volume yang dikeluarkan.
“Prediksi inilah yang bisa meminimalisir risiko dampak dari letusan gunung api, baik korban jiwa maupun materi,” tambahnya.