Bisnis.com, JAKARTA - Maskapai asal Australia Qantas Airways Ltd. diminta untuk membayar A$90 juta atau setara Rp949,15 miliar (asumsi kurs Rp10.546,17 per A$) karena memangkas hampir 2.000 ground staf secara ilegal selama masa pandemi.
Dilansir Bloomberg pada Senin (18/8/2025), denda itu tertuang dalam putusan pengadilan dan menimbulkan kritik tajam terhadap budaya maskapai dan seberapa besar perubahan yang telah dilakukan oleh perusahaan.
Dalam putusan pada hari ini, Pengadilan Federal Australia memerintahkan Qantas untuk membayar denda sebesar A$50 juta langsung kepada Serikat Pekerja Transportasi (TSU), yang telah menggugat maskapai tersebut atas pemecatan yang dilakukan perusahaan.
Sebagian dari sisanya, yang akan ditentukan pada sidang berikutnya. Kemungkinan akan diberikan kepada sebagian dari 1.820 karyawan yang dipecat. Denda tersebut merupakan tambahan dari kesepakatan kompensasi sebesar A$120 juta tahun lalu untuk para mantan karyawan yang terdampak.
Sebagai informasi, Qantas mengalihdayakan operasi penanganan darat atau ground-handling di 10 bandara Australia pada akhir 2020, di bawah pimpinan CEO saat itu Alan Joyce, karena pandemi melumpuhkan aktivitas penerbangan. Serikat Pekerja Transportasi berargumen bahwa staf diberhentikan untuk menghindari negosiasi mengenai gaji dan kondisi kerja serta potensi pemogokan.
Membacakan putusannya yang berdurasi satu jam, Hakim Michael Lee mengkritik budaya perusahaan yang memungkinkan pemecatan tersebut terjadi. Dia juga mempertanyakan tingkat penyesalan maskapai dan komitmennya untuk berubah.
Baca Juga
Pemecatan ilegal tersebut merupakan salah satu dari beberapa masalah Qantas selama pandemi dan setelahnya, termasuk tuduhan dari regulator bahwa Qantas menjual kursi di ribuan penerbangan yang telah dibatalkan. Qantas setuju untuk membayar denda dan kompensasi tambahan sebesar A$120 juta untuk penerbangan yang dibatalkan.
Menyelesaikan kasus petugas ground handling menjadi bagian penting dari rehabilitasi Qantas di bawah penerus Joyce, Vanessa Hudson, yang mengambil alih kepemimpinan pada akhir 2023. Pernyataan pedas Hakim Lee kini membuka kembali perdebatan tentang siapa yang harus disalahkan, dan apa yang sedang dilakukan, menyusul krisis reputasi terburuk dalam sejarah maskapai tersebut.