Bisnis.com, JAKARTA - Penerimaan pajak sangat berpotensi mengalami shortfall pada tahun anggaran 2020 ini, seiring dengan pelemahan ekonomi Tanah Air.
Penerimaan pajak pada tahun ini diperkirakan turun cukup dalam dari baseline, akibat upaya pemerintah mendorong stimulus gelombang dua untuk menangkal dampak virus corona atau Covid-19.
Seperti diketahui, stimulus ini berfokus pada sektor manufaktur yang merelaksasi jenis pajak PPh Pasal 21, PPh Pasal 22 Impor, dan PPh Badan dari sektor tersebut selama 6 bulan terhitung sejak April hingga September 2020. Akibatnya, penerimaan pajak dari sektor tersebut tidak akan bisa maksimal pada awal tahun ini.
Tahun ini, penerimaan pajak ditargetkan tumbuh 23,31 persen (yoy) dari 1.332,06 triliun menjadi Rp1.642,57 triliun. Di satu sisi shortfall penerimaan pajak pada tahun lalu saja sudah mencapai Rp245,49 triliun.
Tahun lalu, penerimaan pajak dari sektor manufaktur mencapai Rp365,39 triliun, terkontraksi -1,8 persen (yoy) dibandingkan 2018. Kementerian keuangan mencatat terdapat pertumbuhan hingga 18,05 persen (yoy) untuk restitusi di sektor manufaktur, sedangkan realisasi PPh dan PPN Impor pada sektor ini terkontraksi hingga -9,22 persen (yoy).
Padahal, sumbangsih sektor manufaktur terhadap penerimaan pajak mencapai 29,4 persen dari keseluruhan penerimaan pajak di luar PPh Migas dan PBB.
Data DJP menunjukkan penerimaan PPh Pasal 21 dari sektor manufaktur tumbuh hingga 5,5 persen (yoy), sedangkan penerimaan PPh Pasal 22 Impor terkontraksi hingga -9,2 persen. Adapun setoran PPh Badan dari sektor manufaktur tercatat tumbuh hingga 7,65 persen (yoy).
Berdasarkan data lain yang diperoleh Bisnis, PPh Pasal 21 dari sektor manufaktur diusulkan oleh Kadin untuk ditanggung pemerintah sebesar Rp3 triliun hingga Rp7,5 triliun dengan skema PPh Pasal 21 yang ditanggung adalah 20 persen hingga 50 persen dari PPh Pasal 21 yang terutang.
Atas WP KITE, PPh Pasal 21 yang ditanggung oleh pemerintah bisa mencapai Rp661,33 miliar hingga Rp1,65 triliun.
Untuk PPh Pasal 22 Impor, skema relaksasi diusulkan oleh Kadin dan WP KITE selama 3 bulan terhitung sejak April hingga Juni 2020. Dengan ini, PPh Pasal 22 Impor yang tidak jadi ditarik pemerintah bisa mencapai 5,23 triliun.
Di satu sisi, pemerintah telah menyebutkan bahwa relaksasi PPh Pasal 22 Impor bakal berlaku 6 bulan. Artinya, PPh Impor yang tidak jadi ditarik pemerintah bisa mencapai Rp10,46 triliun.
Untuk PPh Badan, skema yang terlampir dalam data yang diterima Bisnis menunjukkan bahwa WP KITE mengusulkan pengurangan PPh Badan sebesar 50 persen pada 3 bulan pertama, sedangkan Kadin mengusulkan 35 persen pada 3 bulan pertama.
Pengurangan PPh Badan diusulkan oleh WP KITE dan Kadin berlanjut hingga akhir tahun dengan pengurangan hingga 25 persen.
Dengan ini, penerimaan negara dari PPh Badan berpotensi berkurang hingga Rp8,19 triliun sepanjang tahun 2020.
Penerimaan PPN tidak akan banyak membantu akibat relaksasi restitusi dipercepat yang diterapkan oleh pemerintah. Bila skema percepatan restitusi dibatasi dalam jangka waktu 3 bulan dan nominalnya naik dari Rp1 miliar menjadi Rp5 miliar, maka restitusi sepanjang 3 bulan diproyeksikan mencapai Rp975,84 miliar.
Di satu sisi, penerimaan PPN minimal pada kuartal I/2020 berpotensi bakal tertekan akibat rendahnya geliat konsumsi rumah tangga serta VAT gross collection yang rendah.
Data BI menunjukkan bahwa konsumsi rumah tangga pada kuartal I/2020 nampak tidak menggeliat terbukti dari indeks penjualan riil (IPR) Januari 2020 yang terkontraksi -0,3 persen (yoy). Pada Februari 2020, IPR diproyeksikan akan kembali ambles ke angka -1,9 persen (yoy).
Untuk kuartal I/2020, IPR diproyeksikan bakal mengalami kontraksi hingga -1,1 persen (yoy), lebih rendah dibandingkan kuartal IV/2019 dimana IPR masih mampu tumbuh 1,5 persen (yoy) dan berbanding terbalik dengan kuartal I/2019 dimana IPR tumbuh melesat hingga 8,8 persen (yoy).
Hal ini mengindikasikan pertumbuhan konsumsi rumah tangga bakal melanjutkan tren perlambatan laju pertumbuhan dimana pada kuartal IV/2019 konsumsi rumah tangga sudah turun di angka 4,97 persen (yoy).
Adapun VAT gross collection ratio pada tahun 2019 tercatat hanya sebesar 59,43 persen dengan realisasi penerimaan PPN hingga Rp532,9 triliun. Artinya, penerimaan PPN pada tahun lalu hanya 59,43 persen dari potensi pajaknya yang bersumber dari konsumsi. Hal ini tidak terlepas dari banyaknya pengecualian pengenaan PPN yang ada di Indonesia.
Tekanan juga akan timbul pada penerimaan PPh Migas akibat anjloknya harga minyak dunia karena perang harga antara Saudi dengan Rusia.
Penghitungan Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) menunjukkan bahwa setiap penurunan harga minyak dunia sebesar US$1 per barel per tahun akan menekan penerimaan PPh Migas hingga Rp776 miliar.
Hari ini, Kamis (12/3/2020), harga minyak WTI sudah anjlok ke nominal US$31,68 per barel, jauh lebih rendah dibandingkan Awal Januari 2019 dimana harga minyak WTI masih berada di nominal US$61,18 per barel.
Tahun lalu saja, penerimaan PPh Migas sudah mengalami kontraksi hingga 8,7 persen (yoy) dari Rp64,7 triliun menjadi Rp59,1 triliun akibat menurunnya harga ICP.
Realisasi harga ICP secara rata-rata sepanjang hanya sebesar US$62 per barel, lebih rendah dari patokan awal yang sebesar US$70 per barel. Pada 2018 lalu, realisasi harga ICP sepanjang tahun mencapai US$67,5 per barel.