Bisnis.com, JAKARTA - Aktivis Lingkungan Hidup Dandhy Laksono mengkritik rencana pemerintah mencetak setidaknya 600 ribu hektare sawah baru untuk merespons ancaman krisis pangan di tengah pandemi Covid-19.
“Pemerintah mau mencetak sawah 600 ribu Ha, merespons ancaman krisis pangan. Sepintas melegakan. Padahal akan mengulang kesalahan, kegagalan, dan menimbulkan masalah di masa depan,” kata Dandhy melalui keterangan tertulis kepada Bisnis, di Jakarta, Rabu (6/5/2020).
Dia menerangkan seperti Soeharto menggunakan revolusi hijau untuk melaksanakan politik beras. Jokowi juga, menurut dia, terpukau dengan konsep sawah tekno atas nama wabah dan krisis pangan.
“Sawah tanpa petani dan kebudayaan yang hidup di atasnya. Sawah berbasis modal, buruh, dan mesin. Pangan yang diurus korporasi,” kata dia.
Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo mengaku telah menerima instruksi Presiden Joko Widodo untuk menyiapkan lahan sawah baru guna mencegah krisis pangan.
Kementan akan melakukan optimalisasi lahan-lahan rawa dan lahan marjinal yang mencapai 600.000 hektare.
Upaya penanaman di lahan baru ini disiapkan untuk menjamin ketersediaan beras sampai 3 bulan pertama 2021.
"Agar stok aman sampai awal tahun 2021 kita perlu tambahan di atas 1 juta ton. Perkiraan kami stok akhir 2020 hanya 1,8 juta ton. Kita setidaknya butuh 3 juta ton agar bisa survive 3 bulan pertama 2021," lanjut Syahrul.
Dengan asumsi 600.000 ton ini dapat terealisasi, Syahrul mengatakan terdapat potensi tambahan pasokan sebanyak 900.000 ton beras atau 1,8 juta ton gabah kering giling (GKG). Produksi padi di lahan marjinal sendiri cenderung lebih rendah dari lahan konvensional, hanya di kisaran 3 ton per hektare.